Tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai Moksha - Modul Ajaran Moksha bagian #1
“Semua yang ada ini berasal dari yang satu, setelah banyak menurut waktu,
keadaan, dan tempatnya kembali menuju yang satu”.
Dalam agama Hindu, kita diajarkan Lima prinsip keyakinan yang disebut Panca Sraddha yaitu meliputi keyakinan tentang adanya Brahman, Atman, Karma Pala, Punarbhawa, dan Moksha. Gunada (2013:25) menjelaskan bahwa Panca Sraddha adalah dasar untuk mencapai tujuan kehidupan tertinggi. Kepercayaan terhadap Moksha yang menjadi tujuan puncak (paramartha) agama Hindu menegaskan bahwa Hindu senantiasa menyelaraskan antara dasar dan tujuan.
Agama Hindu merumuskan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purushàrtha, yaitu dharma (kebenaran), artha (kesejahteraan), kama (keinginan/kenikmatan duniawi), dan Moksha (kebebasan sejati). Moksha berasal dari bahasa Sanskerta, dari akar kata muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Moksha berarti kelepasan, kebebasan (Semadi Astra, dkk, 1982:1983). Dari pemahaman istilah, kata Moksha dapat disamakan dengan nirwana, nisreyasa atau keparamarthan.
Moksha adalah alamnya Brahman yang sangat gaib dan berada di luar batas pikiran manusia. Moksha bisa disamakan dengan Nirguna Brahman. Tidak ada bahasa manusia yang dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam Moksha itu. Moksha hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya. Alam Moksha bukan sesuatu yang bersifat khayal, tetapi suatu yang benar-benar ada, karena demikian dikatakan oleh ajaran kebenaran (agama). Moksha adalah kepercayaan tentang adanya kebebasan yaitu bersatunya antara Atman dengan Brahman. Moksha dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Bila seseorang sudah mengalami Moksha dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) serta dapat mengalami atau mewujudkan Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran, kebahagian). Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, Moksha: tingkatan hidup lepas dari ikatan keduniawian; kelepasan; bebas dari penjelmaan kembali (Tim, 2001:752).
Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian Moksha ialah terlepasnya Atman dari ikatan maya, sehingga menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai Moksha berarti mereka telah mencapai alam Sat cit ananda. Sat cit ananda berarti kebahagiaan yang tertinggi. Setiap orang pada hakikatnya dapat mencapai Moksha, asal mereka mengikuti dengan tekun jalan yang ditunjuk oleh agama. Moksha itu dapat dicapai di dunia ini artinya semasih kita hidup, dan dapat pula dicapai setelah hidup ini berakhir. Seseorang yang menyadari akan hal itu, maka yang bersangkutan akan berupaya untuk menumbuh-kembangkan dalam dirinya usaha untuk melepaskan diri yang sejati dari keterikatan itu. Upaya dan usaha melepaskan diri secara sadar inilah dapat mengantarkan manusia menuju Moksha. Ketidak-sadaran dengan keterikatan dapat menumbuhkan penderitaan yang berkepanjangan. Agama mengajarkan ada banyak usaha yang dapat ditempuh untuk mewujudkan semuanya itu. Di antara usaha-usaha itu antara lain; dengan berperilaku yang baik, berdana-punya, berYajña, dan tirthayatra. Usaha itu dapat dilakukan secara bertahap dan didasari dengan niat yang baik dan suci. Dengan demikian seseorang dapat terlepaskan dari keterikatan duniawi. Umat Hindu percaya akan dapat membebaskan dirinya (pikiran dan perasaannya) dari ikatan keduniawian, pengaruh suka dan duka yang muncul dari tri guna serta dapat mencapai kelepasan itu.
Kitab suci Bhagavadgita menjelaskan sebagai berikut:
“Yadā sattve pravrddhe tu,
pralayam yāti deha-bhrit,
tadottama-vidāý lokàn,
amalān pratipadyate”.
Terjemahan:
Apabila sattva berkuasa di kala penghuni-badan bertemu dengan kematian, maka ia mencapai dunia suci tempat mereka, para yang mengetahui
(Bhagavadgita XIV. 14).
Membebaskan diri dari pengaruh tri guna adalah usaha yang sangat berat, tetapi pasti dapat dilakukan dengan mendasarkan diri pada disiplin. Penghayatan dan pengamalan semua bentuk ajaran agama dalam hidup ini merupakan wujud kongkret dari pengamalan sabda Tuhan yang ada dalam pustaka suci.Lakukan pemujaan dan kerja sebagaimana mestinya guna mewujudkan bhakti kita kepada Tuhan. Tanamkanlah keyakinan pada diri kita bahwa segala sesuatu berawal dan berakhir pada Tuhan. Segala sesuatu tidak mungkin akan terjadi tanpa Beliau berperan di dalamnya. Setiap makhluk akan dapat mencapai Moksha, hanya saja proses yang dilalui satu sama lain berbeda. Ada yang cepat dan ada pula yang lambat dan sebagainya. Bila seseorang dapat mengurangi sifat egoisnya terhadap sesuatu dan mengarahkan pikiran dan perasaannya pada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi, maka secara perlahan-lahan dan pasti dapat menyatu dengan Brahman.
Mari coba kita renungkan dan laksanakan makna sloka berikut ini dengan baik.
Sattvam sukhe sañjayati,
rajaá karmani bhārata,
jnānam āvrtya tu tamah,
pramāde sanjayaty uta.
Terjemahan:
Sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan tetapi tamas, menutupi budi pekerti oh Barata, mengikat dengan kebingungan,
(Bhagavadgita XIV.9).
Tujuan utama manusia adalah untuk mewujudkan hidup yang bahagia dengan menyadari dirinya yang sejati. Setelah orang menyadari dirinya yang sejati barulah ia dapat menyadari Tuhan/Sang Hyang Widhi, yang meresap dan berada pada semua yang ada di alam semesta ini. Dalam kehidupan nyata di dunia ini masih sangatlah sedikit jumlah orang yang menginginkan untuk mendapatkan kebahagiaan rohani ”Moksha”, kebanyakan di antara mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh dengan gelombang suka dan duka.
Kiranya setiap orang perlu menyadari bahwa tubuh ini adalah suatu alat untuk mendapatkan Moksha. Mokshanam sariram sadhanam yang artinya bahwa tubuh ini adalah sebagai alat untuk mencapai Moksha. Untuk dapat mewujudkan rasa bhakti ke hadapan-Nya kehadiran tubuh manusia sangat diperlukan, oleh karenanya peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya.
“Bhaktyā tv ananyayā sakya
aham evam-vidho ‘rjuna,
jñātum drastum cha tattvena
pravestum cha paramtapa”.
Terjemahan:
Tetapi, melalui jalan bhakti yang tak tergoyahkan Aku dapat dilihat dalam realitasnya dan juga memasukinya, wahai penakluk musuh (Arjuna) Paramtapa
(Bhagawadgita, XI.54).
Bhakti marga dalam ajaran agama Hindu adalah jalan menuju dan memuja Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa yang diperuntukan bagi umat kebanyakan. Namun demikian bukan berarti tertutup bagi umat yang sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan setingkat lebih tinggi dari umat yang lainnya. Melalui jalan bhakti para bhakta dapat memuja Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa beserta prabhawa-Nya dengan cara berpikir, berucap, dan berperilaku yang sederhana, tulus serta cinta kasih.
Duhkheswanudwignamanāh
sukhesu wigatasprhah
wītaçokabha-yakrodhah
sthiradhīrmunirucyate.
Sang kinahananing kaprajñān ngaranira, tan alara yan panemu duhkha, tan agirang yan panemu sukha, tātan kataman krodha, mwang takut, prihati, langgeng mahning juga tuturnira, apan majñāna, muni wi ngaraning majñāna.
Terjemahan:
Orang yang disebut mendapatkan kebijaksanaan, tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati, jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang juga pikiran dan tutur katanya, karena berilmu, budi mulia pula disebut orang yang bijaksana (Sarasamuscaya, 505).
Moksha dapat dicapai oleh semua manusia, baik semasih hidup maupun setelah meninggal dunia. Dalam ajaran agama Hindu ada disebutkan beberapa tingkatan-tingkatan Moksha berdasarkan keadaan atma yang dihubungkan dengan Brahman.
Tingkatan-tingkatan Moksha berdasarkan keadaan atma yang dihubungkan dengan Brahman.
1. Jiwamukti
Jiwamukti adalah tingkatan Moksha atau kebahagiaan/kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, di mana atmanya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indrya dan maya (pengaruh duniawi). Keadaan atma seperti ini disamakan dengan samipya dan sarupya.
2. Widehamukti
Widehamukti adalah tingkat kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, di mana atmanya telah meninggal, tetapi roh yang bersangkutan masih kena pengaruh maya yang tipis. Tingkat keberadaan atma dalam posisi ini disetarakan dengan Brahman, namun belum dapat menyatu dengan-Nya, sebagai akibat dari pengaruh maya
yang masih ada. Widehamukti dapat disejajarkan dengan salokya.
3. Purnamukti
Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna. Pada tingkatan ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman. Setiap orang akan dapat mencapai posisi ini, apabila yang bersangkutan sungguh-sungguh dengan kesadaran dan hati yang suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Posisi Purnamukti dapat disamakan dengan Sayujya (Wigama dkk, 1995:106)
Berdasarkan keadaan tubuh atau lahiriah manusia, tingkatan-tingkatan atma itu dapat dijabarkan sebagai berikut: Moksha, Adi Moksha, dan Parama Moksha.
Secara lebih rinci sesuai uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan Moksha dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan. Moksha dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu: Samipya, Sarupya (Sadarmya), Salokya, dan Sayujya. Adapun penjelasan keempat bagian ini dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Samipya:
Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan oleh para Maharsi. Beliau dalam melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam keadaan yang demikian itu atman berada sangat dekat dengan Tuhan. Setelah beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan beliau kembali sebagai biasa, di mana emosi, pikiran, dan organ jasmaninya aktif kembali.
2. Sarupya (Sadharmya):
Sarupya (Sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari kemaha-kuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama, Buddha dan Sri Kresna. Walaupun Atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia ini.
3. Salokya:
Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu dapat dikatakan baliau Atman telah mencapai tingkatan Deva yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
4. Sayujya:
Sayujya adalah tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha esa. Dalam keadaan seperti ini Ida Sang Hyang Widhi disebut Brahman Atman Aikyam yang artinya: Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.
Dalam usaha untuk mewujudkan suatu kebebasan dalam hidup ini sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka berikut:
Sribhagavàn uvàcha:
Akasaram brahman paramam
svabhàvo ‘dhyàtmam uchyate,
bhùta-bhàvodbhava-karo
visargah karma-samjnitah.
Terjemahan:
Sri Bhagawan bersabda: Brahman (Tuhan) adalah yang kekal, yang maha tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhy Atman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup (B.G VIII. 3).
Tentang kebahagiaan atau kebebasan hidup abadi yang mesti selalu diupayakan dalam hidup dan kehidupan ini oleh umat sedharma, kitab suci Sarasamuscaya patut dipedomani dan menyebutkan sebagai berikut:
Mātāpitrsahasrāni
putradāra çatani ca,
yuge yuge wyatītāni kasya te
kasya wā wayam.
Anādi ketang janma ngaranya, tan kinawruhan tembenya, luput kinalakaran, wilangning janmāntara, mewwiwut pwa bapanta, ibunta, anakta, rabinta, ring sayugasyuga, paramārthanya, ndyang enak katepetana sānu lawan ika, ndyang tuduhan anunta.
Terjemahan:
Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakikatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri? (Sarasamuscaya, 486).
Nāyamatyantasamwāmsah kadācit
kenacit saha,
api swena marīrena
kimutānyena kenacit.
Tātan hana teka nitya patemunya ngaranya, ikang patemu ika, ikang tan temu ika, kapwa tan langgeng ika, patemunta lawan iking çariranta tuwi, tan langgeng ika, mapasaha mara don iking paneoadadi, haywa tinucap ikang len.
Terjemahan:
Tidak ada yang kekal yang dinamakan pertemuan itu, yang bertemu satu dengan yang lain; yang tidak bertemu satu dengan yang lain, semuanya itu tidak kekal, bahkan hubunganmu dengan badanmu sendiripun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan; tangan, kaki, dan lain-lain bagian tubuh itu, jangan dikatakan dengan yang lain-lainnya (Sarasamuscaya, 487).
Ādarçanādāpatitāh punaçcā
darçanam gatāh,
na te tawa na tesām twam kā
tatra pariDevanā.
Keta sakeng taya marika, muwah, ta ya mulih ring taya, sangksipta tan
akunta ika, ika tan sapa lawan kita, an mangkana, apa tojara, apa polaha.
Terjemahan:
Katanya mereka datang dari Taya (kenyataan yang tidak nyata), dan kemudian kembalinya lagi ke Taya, singkatnya, bukan kepunyaanku itu, itu tidak ada hubungannya dengan engkau, jika demikian halnya, apa yang akan dikatakan dan apa yang akan dikerjakan (Sarasamuscaya, 488).
Naste dhane wā dāresu putre
pitari mātari,
aho kastamiti dhyātwā
duhkhasyāpacitin caret
Hilang pwa mās, māti pwang anak, rabi, bapa, ibu, ikāna telas
paratra, atiçaya ta göng nikang lara, mwang dukkhaning hati enget
pwa kitan mangkana, gawahenta tikang tambāning duhkha.
Terjemahan:
Kekayaan akan habis, anak akan mati, istri, ayah, dan ibu, mereka itu semuanya telah meninggal, maka sangat menyedihkan dan memilukan hati, bila engkau sadar akan keadaan demikian, perbuatanmu itu merupakan obat pelipur duka (Sarasamuscaya,489).
Mānasam çamayet tasmāt
prajñāya, gnimiwābhasa,
praçānte mānase hyasya
çārīramupaçāmyati.
Matangnya duhkhaning manah, prihen pademen ring kaprajñān,
apan niyata juga hilang dening kaprajñān, kadyangganing
apuy dumilah, niyata padem nika dening wwai, padem pwa
duhkhaning manah, padem ta laranikang çarīra.
Terjemahan:
Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala, pasti padam oleh air, jika telah musnah penderitaan pikiran, maka lenyaplah pula sakitnya badan (Sarasamuscaya, 503).
Wījāyagnyupadagdhāni na
rohanti yathā punah,jñānadagdhaistathā kleçairnātmā
sampadyate punah.
Kunang paramārthanya, hilang ikang kleçaning awak, an
pinanasan ring jñāna, hilang pwang kleça, ri katemwaning
samyagjñāna, hilang tang janma, mari Punarbhawa, kadyangganing
wīja, pinanasan sinanga, hilang tuwuh nika, mari masewö.
Terjemahan:
Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan ilmu pengetahuan, jika hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benihan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak tumbuh lagi (Sarasamuscaya, 510)
Nah jadi demikianlah sepintas yang dapat diuraikan mengenai tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai Moksha, dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati. Renungkanlah dalam-dalam petikan sloka tersebut di atas, sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan hidup ini.
Artikel berikutnya:
moksa dalam islam
4 tingkatan moksa
tujuan moksa
parama moksa adalah
moksa juga sering disebut
dengan istilah
jalan menuju moksa
adi moksa adalah
contoh moksa
Post a Comment for "Tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai Moksha - Modul Ajaran Moksha bagian #1"