Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mempraktikan Yajña Menurut Kitab Mahabharata Dalam Kehidupan

Perenungan

Terjemahannya:

Tuhan Yang Maha Yang Maha Esa, orang yang tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah lamban dan mengantuk, mati oleh perbuatannya sendiri. Berikanlah semua kekayaan yang dikumpulkan oleh orang semacam itu, kepada orang lain’ (Rg Veda VIII. 97. 3).


Memahami Teks:

Beryajña bagi umat Hindu adalah wajib hukumnya walau bagaimana dan dimanapun mereka berada. Sesuatu yang dilaksanakannya dengan dilandasi oleh Yajña adalah utama. Bagaimana agar semua yang kita laksanakan ini dapat bermanfaat dan bekualitas-utama, mendekatlah kepadaNya dengan tali kasih karena sesungguhnya Tuhan adalah Maha pengasih. Kitab Bhagawadgita menjelaskan sebagai berikut:

’Ye tu dharmyāmṛtam idaṁ yathoktaṁ paryupāsate,
sraddadhānā mat-paramā bhaktās te ’tiva me priyāh

Terjemahannya:

Sesungguhnya ia yang melaksanakan ajaran dharma yang telah diturunkan dengan penuh keyakinan, dan menjadikan Aku sebagai tujuan, penganut inilah yang paling Ku-kasihi, karena mereka sangat kasih pada-Ku (Bhagawadgita XII. 20).

Kasih-sayang adalah sikap yang utama bagi yang melaksanakan. Dengan membiasakan hidup selalu bersahabat sesama mahkluk, terbebas dari keakuan dan keangkuhan, sama dalam suka dan duka serta pemberi maaf. Orang-orang terkasih selalu puas dan mantap dalam mengendalikan diri, berkeyakinan yang teguh, terbebas dari kesenangan, kemarahan, dan kebingungan. Dia yang tidak mengharapkan apapun, murni dan giat, tidak terusik dan ia yang tidak memiliki pamrih apapun. Demikian juga orang-orang terkasih adalah mereka yang terbebas dari pujian dan makian, pendiam dan puas dengan apapun yang dialaminya. Persembahan apapun yang dilaksanakan oleh seseorang kepadaNya dapat diterima, karena beliau bersifat mahakasih.

Daksina dan Pemimpin Yajña

Mendengar kata daksina, dalam benak orang Hindu “Bali” yang awam maka terbayang dengan salah satu bentuk jejahitan yang berbentuk serobong (silinder) terbuat dari daun kelapa yang sudah tua, dan isinya berupa beras, uang, kelapa, telur itik dan perlengkapan lainnya. Daksina adalah sesajen yang dibuat untuk tujuan kesaksian spiritual. Daksina adalah lambang Hyang Guru (Dewa Makna kata daksina secara umum adalah suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang kepada pendeta/pemimpin upacara. Penghormatan ini haruslah dihaturkan secara tulus ikhlas. Persembahan ini sangat penting dan bahkan merupakan salah satu syarat mutlak agar Yajña yang diselenggarakan berkualitas (satwika yadnya). Selanjutnya tentang pentingnya daksina dalam Yajña, dikisahkan sebagai berikut:

Setelah perang Bharatayuda usai, Sri Krishna menganjurkan kepada Pandawa untuk menyelenggarakan upacara Yajña yang disebut Aswamedha yadnya. Upacara korban kuda itu berfungsi untuk menyucikan secara ritual dan spiritual negara Hastinapura dan Indraprastha karena dipandang leteh (kotor) akibat perang besar berkecamuk. Di samping itu juga bertujuan agar rakyat Pandawa tidak diliputi rasa angkuh dan sombong akibat menang perang.

Atas anjuran Sri Krishna, di bawah pimpinan Raja Dharmawangsa, Pandawa melaksanakan Aswamedha Yajña itu. Sri Krishna berpesan agar Yajña yang besar itu tidak perlu dipimpin oleh pendeta agung kerajaan tetapi cukup dipimpin oleh seorang pendeta pertapa dari keturunan warna sudra yang tinggal di hutan. Pandawa begitu taat kepada segala nasihat Sri Krishna, Dharmawangsa mengutus patihnya ke tengah hutan untuk mencari pendeta pertapa keturunan warna sudra.

Setelah menemui pertapa yang dicari, patih itu menghaturkan sembahnya, “Sudilah kiranya Anda memimpin upacara agama yang benama Aswamedha Yajña, wahai pendeta yang suci”. Mendengar permohonan patih itu, sang pendeta yang sangat sederhana lalu menjawab, “Atas pilihan Prabhu Yudhistira kepada saya seorang pertapa untuk memimpin Yajña itu saya ucapkan terima kasih. Namun kali ini saya tidak bersedia untuk memimpin upacara tersebut. Nanti andaikata kita panjang umur, saya bersedia memimpin upacara Aswamedha Yajña yang diselenggarakan oleh Prabhu Yudistira yang keseratus kali. Mendengar jawaban itu, sang utusan terperanjat kaget luar biasa. Ia langsung mohon pamit dan segera melaporkan segala sesuatunya kepada Raja. Kejadian ini kemudian diteruskan kepada Sri Krishna. Setelah mendengar laporan itu, Sri Krishna bertanya, siapa yang disuruh untuk menghadap pendeta, Dharmawangsa menjawab “Yang saya tugaskan menghadap pendeta adalah patih kerajaan”. Sri Krishna menjelaskan, upacara yang dapat dilangsungkan bukanlah atas nama sang Patih, tetapi atas nama sang Raja. Karena itu tidaklah pantas kalau orang lain yang memohon kepada Pendeta. Setidak-tidaknya Permaisuri Raja yang harus datang kepada pendeta. Kalau permaisuri yang datang, sangatlah tepat karena dalam pelaksanaan upacara agama, peranan wanita lebih menonjol dibandingkan laki-laki. Upacara agama bertujuan untuk membangkitkan prema atau kasih sayang, dalam hal ini yang paling tepat adalah wanita.

Nasihat Awatara Wisnu itu selalu dituruti oleh Pandawa. Dharmawangsa lalu memohon sang permaisuri untuk mengemban tugas menghadap pendeta di tengah hutan. Tanpa mengenakan busana mewah, Dewi Drupadi dengan beberapa iringan menghadap sang pendeta. Dengan penuh hormat memakai bahasa yang lemah lembut Drupadi menyampaikan maksudnya kepada pendeta. Di luar dugaan, pendeta itu bersedia untuk memimpin upacara yang agung itu. Pendeta itu kemudian dijemput sebagaimana tatakrama yang berlaku. Drupadi menyuguhkan makanan dan minuman ala kota kepada pendeta. Karena tidak perah hidup dan bergaul di kota, sang Pendeta menikmati hidangan tersebut menurut kebiasaan di hutan yang jauh dengan etika di kota. Pendeta kemudian segera memimpin upacara. Ciri-ciri upacara itu sukses menurut Sri Krishna adalah apabila turun hujan bunga dan terdengar suara genta dari langit. Nah, ternyata setelah upacara dilangsungkan tidak ada suara genta maupun hujan bunga dari langit. Terhadap pertanyaan Darmawangsa, Sri Krishna menjelaskan bahwa tampaknya tidak ada “daksina” untuk dipersembahkan kepada pendeta. Kalau upacara agama tidak disertai dengan daksina untuk pendeta, berarti upacara itu menjadi milik pendeta. Dengan demikian yang menyelenggarakan upacara berarti gagal melangsungkan Yajña. Gagal atau suksesnya Yajña ditentukan pula oleh sikap yang beryajña. Kalau sikapnya tidak baik atau tidak tulus menerima pendeta sebagai pemimpin upacara, maka gagalah upacara itu. Sikap dan perlakuan kepada pendeta yang penuh hormat dan bhakti merupakan salah satu syarat yang menyebabkan upacara sukses.

Setelah mendengar wejangan itu, Drupadi segera menyiapkan Daksina untuk pendeta. Setelah pendeta mendapat persembahan Daksina, tidak ada juga suara genta dan hujan bunga dari langit. Melihat kejadian itu, Sri Krishna memastikan bahwa di antara penyelenggara yajna ada yang bersikap tidak baik kepada pendeta. Atas wejangan Sri Krishna itu, Drupadi secara jujur mengakui bahwa ia telah mentertawakan Sang Pendeta pemimpin yajñanya walaupun dalam hati, yaitu pada saat pendeta menikmati hidangan tadi. Memang dalam agama Hindu, Pendeta mendapat kedudukan yang paling terhormat bahkan dipandang sebagai perwujudan Dewa. Karena itu akan sangat fatal akibatnya kalau ada yang

bersikap tidak sopan kepada pendeta. Beberapa saat kemudian setelah Drupadi berdatang sembah dan mohon maaf kepada pendeta, jatuhlah hujan bunga dari langit dan disertai suara genta yang nyaring membahana. lni pertanda Yajña Aswamedha itu sukses. Demikianlah, betapa pentingnya kehadiran “Daksina” yang dipersembahkan oleh yang berYajña kepada pendeta pemimpin Yajña dalam upacara Yajña.

Uji kompetensi:

  1. Bagaimanakah praktik pelaksanaan Yajña menurut kitab Mahabharata bila dikaitkan dengan kehidupan beragama Hindu di tanah air kita? Jelaskanlah!
  2. Apakah yang ketahui tentang “daksina” terkait dengan kehidupan beragama Hindu di lingkungan sekitar Kamu? Jelaskanlah!
  3. Buatlah rangkuman untuk pokok bahasan berdasarkan sumber teks diatas!

Post a Comment for "Mempraktikan Yajña Menurut Kitab Mahabharata Dalam Kehidupan"