Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

YAJÑA DALAM MAHABHARATA DAN MASA KINI


Perenungan:
’Svar yanto nāpekṣanta, ā dyaṁ rohanti rodasi.
yajñam ye vi vatodharam, savidvamso vitenire

Terjemahannya:

’Para sarjana yang terkenal yang melaksanakan pengorbanan, mencapai kahyangan (sorga) tanpa suatu bantuan apapun. Mereka membuat jalan masuk mereka dengan mudah ke kahyangan (sorga), yang menyeberangi bumi dan wilayah-pertengahan’ (Yajurveda XXIII.62)

Memahami Teks:

Sarpayajña Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa melaksanakan Yajña Sarpa yang sangat besar dan dihadiri oleh seluruh rakyat dan undangan dari rajaraja terhormat dari negeri tetangga. Bukan itu saja, undangan juga datang dari para pertapa suci yang berasal dari hutan atau gunung. Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan upacara besar yang mengambil tingkatan utamaning utama.

Menjelang puncak pelaksanaan Yajña, datanglah seorang Brahmana suci dari hutan ikut memberikan doa-restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar itu. Seperti biasanya, setiap tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan yang lezat-lezat dalam jumlah yang tidak terhingga. Begitu juga Brahmana Utama ini diberikan suguhan makanan yang enak-enak. Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh dari gunung ke ibu kota Hastinapura, Brahmana Utama ini sangat lapar dan pakaiannya mulai terlihat kotor.

Begitu dihidangkan makanan oleh para dayang kerajaan, Sang Brahmana Utama langsung melahap hidangan tersebut dengan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan. Bersamaan dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah penyelenggara Yajña besar tersebut.

Begitu melihat cara sang Brahmana Utama menyantap makanan secara tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambil mencela. “Kasihan Brahmana Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya tergesa-gesa,” kata Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi mencela Sang Brahmana Utama cukup jauh, karena kesaktian dari Brahmana ini, maka apa yang diucapkan oleh Drupadi didengarkannya secara jelas. Sang Brahmana Utama diam, tetapi batinnya kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa tersebut.

Di dalam ajaran agama Hindu, diajarkan bahwa apabila kita melakukan tindakan mencela, maka pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela seorang Brahmana Utama, pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk. Dalam kisah berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya. Di hadapan Maha Raja Drestarata, Rsi Bisma, Begawan Drona, Kripacarya, dan Perdana Menteri Widura serta disaksikan oleh para menteri lainnya, Dewi Drupadi dirobek pakaiannya oleh Dursasana atas perintah Pangeran Duryadana. Perbuatan biadab merendahkan kehormatan wanita dengan melepaskan pakaian di depan umum, berdampak pada kehancuran bagi negerinya para penghina. Terjadinya penghinaan terhadap Drupadi adalah pahala dari perbuatannya yang mencela Brahmana Utama ketika menikmati hidangan. Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, karena dibantu oleh Krisna dengan memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa habis sampai adiknya Duryodana kelelahan lalu jatuh pingsan. Krisna membantu Drupadi karena Drupadi pernah berkarma baik dengan cara membalut jarinya Krisna yang terkena Panah Cakra setelah membunuh Supala. Pesan moral dari cerita ini adalah, kalau melaksanakan Yajña harus tulus ikhlas, tidak boleh mencela dan tidak boleh ragu-ragu.

Uji Kompetensi:
  1. Makna apa yang dapat dipetik dari pelaksanaan Yajña dalam cerita Mahabarata?
  2. Coba ceritakan kembali sekilas tentang pelaksanaan Yajña dalam cerita Mahabharata!
  3. Rangkumlah cerita tersebut di atas dan berikanlah komentar-mu bagaimana mempersembahkan yajña agar berhasil!

Post a Comment for "YAJÑA DALAM MAHABHARATA DAN MASA KINI"