Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perkembangan Agama Hindu di India

Perkembangan Agama Hindu di India
Perkembangan Agama Hindu di India

Terhitung sejak ribuan tahun yang lalu, India telah dikenal oleh berbagai macam bangsa-bangsa di dunia. Disekitar tahun 4000 SM negeri India sudah banyak didiami oleh berbagai macam suku bangsa, yang kemudian membentuk system pemerintahan Kota yang berpisah-pisah. Mohenjodara dan Harappa adalah Kota yang paling maju, dan didiami oleh bangsa Dravida. Disekitar (3000 – 1500) SM. Kebudayaan Mohenjodaro dan Harappa sedang suburnya, datanglah bangsa Arya (bangsa kulit putih) menyerang India dan menghancurkan hasil-hasil kebudayaannya. Dalam kondisi seperti itu terjadilah percampuran kebudayaan (kebudayaan asli bangsa Dravida – India dengan bangsa Arya – Kaspia) dan akhirnya munculah kebudayaan Weda.

Daftar Isi

Menurut catatan yang ada menyatakan bahwa sejarah perkembangan agama Hindu di India, berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang yakni berabad-abad lamanya hingga sampai sekarang. Rentang waktu yang sangat panjang itu memungkinkan bila sejarah perkembangannya, kita kelompokkan menjadi beberapa fase sebagaimana pola pemikiran yang disampaikan oleh ”Govinda Das Hiduism Madras”. Pengelompokan yang dimaksud adalah sebagai berikut; Zaman Weda, Zaman Brahmana, dan Zaman Upanisad.

1. Zaman Weda.

Zaman Weda diperkirakan berlangsung lebih kurang dari tahun 1500 SM sampai dengan tahun 600 SM. Pada zaman ini muncullah kitab suci weda yang isinya merupakan kumpulan dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa, yang diterima oleh para Maha Rsi. Penjelasan ini dapat dijumpai dalam kitab Nirukta, yaitu kitab yang memuat penafsiran autentik mengenai kata-kata yang ada dalam kitab suci weda yang disebut ”Bhumikabhasya” yang ditulis oleh Maha Rsi Sayana. Kitab Nirukta juga menjelaskan bahwa sabda suci itu diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan diterima oleh para Maha Rsi.

Maha Rsi penerima wahyu disebut Mantra Drstah iti Rsih. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa Maha Rsi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa itu adalah orang-orang suci, yang dapat berhubungan langsung dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam sastra agama Hindu disebutkan bahwa ada banyak nama para Maha Rsi penerima wahyu, beberapa diantaranya dikenal dengan sebutan sapta Rsi penerima Wahyu, yaitu Maha Rsi Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Arti, Baradwaja, Wasitwa dan Kanwa. Selain Sapta Rsi penerima wahyu Tuhan, juga ada disebutkan dua puluh tiga Maha Rsi lainnya yang dikenal dengan nama ”Nawawimsatikrtyasca Vedavyastha Maharsibhih” diantaranya adalah Maharsi; Daksa, Usana, Swayambhu, Wrhaspati, Aditya, Mrtyu, Indra, Wasistha, Saraswata, Tridhatu, Tridrta, Sandhyaya, Akasa, Dharma, Tryguna, Dananjaya, Krtyaya, Ranajaya, Bharadwaja, Gotama, Uttama, Parasara, dan Wyasa.

Menurut tradisi Hindu, Maha Rsi yang terpopuler dan sangat besar jasanya dalam menghimpun serta mengkodefikasikan weda adalah Maha Rsi Wyasa. Beliau juga dikenal dengan sebutan Kresna Dwaipayana Wyasa. Maha Rsi Wyasa mengkodefikasi kitab-kitab weda menjadi catur weda samhita, dibantu oleh empat Maha Rsi lainnya yang disebut-sebut sebagai siswanya, yaitu:
a. Maha Rsi Paila, yang juga disebut Maharsi Puhala, beliau sebagai penyusun kitab suci Rg. Weda Samhita.
b. Maha Rsi Waisampayana, sebagai penyusun kitab suci Yayur Weda Samhita.
c. Maha Rsi Jaimini, sebagai penyusun kitab suci Sama Weda Samhita.
d. Maha Rsi Sumantu, sebagai penyusun kitab Atharwa Weda Samhita.

Selain sebagai penghimpun kitab catur Weda samhita, Maha Rsi Wyasa juga berjasa menyusun kitab Purana, Mahabharata, Bhagawadgita, dan kitab Brahmasutra. Dalam kesusatraan Hindu, Maha Rsi wyasa juga memiliki sebutan lain seperti Bagawan Byasa, Kresnadwaipayana, dan Wyasa Dewa. Diantara jenis-jenis weda itu, untuk yang pertama kali ditulis adalah Rg. Weda. Setelah itu dilanjutkan dengan kitab-kitab weda yang lainnya. Tatanan hidup beragama pada zaman itu sepenuhnya didasarkan atas ajaran-ajaran yang tercantum pada weda samhita. Pembelajaran agama kepada umat lebih menekankan pada pembacaan dan merafalkan ayat-ayat suci weda, dengan menyanyikan serta mendengarkan secara berkelompok.

Pada zaman weda pemujaan terhadap para dewa yang dipandang sebagai suatu kekuatan yang nyata dan berpribadi sangat mendominasi. Para Dewa dipuja dengan nyanyian yang sangat indah, disertai dengan menghaturkan sajian yang dipersembahkan kepada-Nya. Persembahan sesajen dan pemujaan kepada para dewa dilakukan setiap hari, selain itu ada juga yang dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk memohon anugerah agar kehidupan seseorang menjadi selamat dan sejahtera baik lahir maupun batin. Keberadaan hukum alam yang disebut ”Rta” sangat dipercaya pada zaman Weda, karena hukum itulah yang mengatur segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, seperti; geraknya matahari, bintang-bintang, dan planet-planet lain yang ada di alam semesta. Semua yang ada di alam

semesta ini harus tunduk pada ”Rta” tanpa terkecuali. Barang siapa yang mencoba menentangnya pasti binasa. Manusia dan para dewa seolah-olah memiliki hubungan kekeluargaan yang amat erat. Para dewa dipandang sebagai bapak atau ibu sebagai tempat memohon berkah dan perlindungan dalam hidup ini. Pandangan manusia terhadap susunan alam pada masa itu sudah cukup luas. Disebutkan bahwa alam semesta itu terdiri dari; matahari, bumi, langit, dan surga yang masing-masing dari wilayah itu ada Dewanya. Bumi yang ditempati oleh manusia itu di pandang sebagai sesuatu yang nyata, bukan merupakan hal yang semu. Hal itu dapat dibuktikan dari doa-doa yang dipanjatkan kepada para dewa, banyak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, misalnya seperti; memohon kekayaan, kesejahteraan, keselamatan, banyak anak, kesuburan, kesehatan, dan lain sebagainya.

Pada zaman weda dewa-dewa yang dipandang populer dalam kitab suci weda ditampilkan melalui cerita mengenai mitologi para dewa. Dengan adanya uraian-uraian mengenai mitologi dewa-dewa itu, diharapkan dapat memperjelas tentang ajaran Ketuhanan dalam agama Hindu. Dewa-dewa yang dipandang populer pada zaman weda adalah Dewa; Agni, Indra, Rudra, dan Waruna. Adapun mitologinya dapat dikisahkan secara singkat sebagai berikut:

a. Dewa Agni

Pemujaan terhadap Dewa Agni sangat banyak dijumpai dalam kitab suci weda terutama dalam kitab suci Rg weda. Keberadaan Dewa Agni selalu dihubungkan dengan upacara persembahan api. Wujud Dewa Agni digambarkan berambut nyala api, berjenggot pirang, berdagu tajam, bergigi emas dengan kepalanya selalu bersinar. Sinar Dewa Agni

seperti sinar matahari pagi. Beliau disebut sebagai putra Dewa Dyanus yaitu dewa langit. Dewa Agni sering disebut sebagai putra dewa langit dan bumi. Disebutkan pula bahwa Dewa Agni adalah keturunan air, yang namanya sering dihubungkan dengan Dewa Indra. Dewa Agni Dipandang sebagai dewa pemimpin upacara, dan orang-orang melakukan persembahan pertama kali di dunia ini hanya pada Dewa Agni. Selanjutnya matahari dipandang sebagai perwujudan Dewa Agni, yang di pandang sebagai cahaya sorga pada waktu langit cerah. Dewa Agni juga disebut Grhapati yang artinya tuan-nya rumah tangga, dan dewa yang selalu mengunjungi orang-orang dirumahnya. Dewa Agni

sering dipanggil sebagai ayah, sebagai saudara, sebagai seorang putra dari pemujanya. Dewa Agni menghantarkan persembahan seseorang atau orang banyak kepada para dewa, mengajak para dewa untuk hadir pada waktu upacara keagamaan. Dewa Agni dipandang sebagai duta dari para dewa dan para pemujanya untuk menghantar suatu persembahan kepadanya. Dalam pelaksanaan upacara keagamaan, Dewa Agni dipandang sebagai pendamping para pendeta, oleh sebab itu beliau sering dipanggil dengan sebutan Vipra, Purohita, Hotri, Adwaryu dan Brahman. Semua sebutan itu mengandung pengertian pendeta. Kependetaan adalah karakter yang paling menonjol dari Dewa Agni, oleh karena itu beliau dipandang sebagai pendeta yang besar, yang mengetahui semua rincian upacara, maha bijaksana dan mengetahui segalanya. Oleh karena itulah beliau selalu dipanggil dengan sebutan Yatadewa yang artinya mengetahui semua yang lahir.

Dewa Agni dipandang sebagai dewa yang amat dermawan oleh para pemuja-Nya. Beliau memberkahi mereka bermacam-macam karunia, baik berupa kebahagian dalam rumah tangga, maupun yang lainnya. Kitab Mahabrata mengisah bahwa Dewa Agni dipandang sebagai dewa yang membakar hutan Kandhawa. Sedangkan kitab Ramayana

menyebutnya sebagai penjelmaan Nila. Dalam kitab suci Purana, disebutkan Dewa Agni mengawini Dewi Svaha dengan tiga orang putranya, yaitu Pavaka, Pavamana, dan Suchi. Dalam seni arca India, Dewa Agni dipuja diberbagai candi-candi yang ada. Beliau digambarkan sebagai orang tua berbadan merah, bermata enam, bertangan tujuh,

memegang sendok kecil dan sendok besar sebagai pelaksana upacara Agnihotra, mempunyai tujuh lidah, empat tanduk, tiga kaki, rambutnya dikepang, perutnya besar, dan berbusana merah. Pada kaki kiri dan kaki kanannya terdapat arca Svaha dan Svadha, mengendarai biri-biri jantan. Nama lain dari Dewa Agni adalah Vahni artinya membakar, Vitihotra artinya memberi pahala kepada penyembah, Dananjaya artinya mengalahkan musuh, Dhumaketu artinya bermahkota Asap, Chagartha artinya mengendarai kambing betina, dan Sapta Jihwa yang artinya berlidah tujuh. Berikut ini adalah mantra yang termuat dalam kitab suci weda, sering diucapkan untuk memuliakan Dewa Agni, antara lain;

”Agnih purvebhri rsibhirrijyo nutairita, sa devam eha vaksati”.
Terjemahannya:
Demikianlah Agni menjadi sasaran pemujaan para resi pada zaman dahulu dan zaman sekarang. Ia mengundang para dewa dari semua arah untuk datang pada upacara korban ini.

”Agnina rayimasnavat posameva dive-dive, yasam viravattamam”.
Terjemahannya:
Atas karunia Agni setiap hari, dunia kini mendapatkan kemakmuran, yang menyebabkan adanya kekuatan, jasa dan kepahlawanan yang mulia.

b. Dewa Indra

Keberadaan Dewa Indra sangat dominan dalam kitab suci Weda. Disebutkan ada 200 mantra yang mengagungkan Dewa Indra dalam Weda. Kata Indra berasal dari kata Ind dan dri yang artinya memberi makan. Menurut Niruktha kata Ind berarti penuh dengan tenaga. Indra pada mulanya adalah Dewa hujan yang bersenjatakan bajra atau petir mengalahkan raksasa Vrtra. Dewa Indra lebih dikenal sebagai Dewa Perang yang mengalahkan tiga benteng musuh, karena itu Dewa Indra disebut Tri Puramdhara (Tri Puramtaka). Dalam kitab Purana dikisahkan bahwa, beliau disebut-sebut sebagai Dewa Khayangan (sorga). Beliau merupakan saksi agung setiap perbuatan manusia, karena memiliki seribu mata (Sahasraaksa). Kendaraan Dewa Indra adalah seekor gajah Airavata dan istrinya bernama Sanchi atau Indriani. Keberadaannya banyak dikisahkan dalam kitab Itihasa dan Purana. Nama lain dari Dewa Indra adalah; Sakra (yang mulia), Divapati (Raja dari para dewa), Bajri (yang bersenjata Bajra), Meghavahana (yang berkendaraan awan), Mahendra (dewa yang agung), Svargapati (Raja Khayangan), Mahakasa (Ia yang bermata hebat), Sahasraksa (Ia yang bermata seribu). Berikut ini adalah mantra yang terdapat dalam kitab suci weda yang memuliakan Dewa Indra;

”Dyava cid asmai prtivi namate, susmac cid asya parvata bhayante,
yah somapa nicito vajravahur, vajrahasta sa janasah Indrah”.
Terjemahannya:
Bahkan surga dan dunia tunduk kepadaNya. Bahkan gunung-gunung pun takut di depan kehebatannya. Dia-lah yang dikenal sebagai peminum soma, memegang vajra dengan lengannya, yang memegang vajra ditangannya. Dia-lah Indra, oh orang-orang laki.

”Yah sasvato mahi eno dadhanan, amanymanah charna jaghana. Yah
sadhate nanudadati srdhyam, yo darso hanta sa janasa Indrah”.
Terjemahannya;
Dia yang membunuh dengan panahnya, mereka yang berbuat dosa besar yang tidak disenangi. Ia tidak mengampuni orang-orang yang congkak dengan kecongkakannya. Dia-lah yang membunuh Dasyu. Dia-lah Indra, oh orang-orang laki.

c. Dewa Rudra

Dewa Rudra diidentikan dengan Dewa Siwa (Siwarudra). Beliau digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perutnya berwarna biru dan punggungnya berwarna merah. Kepala berwarna biru, lehernya berwarna putih, dan kulitnya berwarna merah kecoklat-coklatan. Rambutnya panjang terurai, seluruh tubuhnya memancarkan cahaya keemasan, tangannya memegang busur dan panah yang bercahaya. Karakternya nampak angker dan menakutkan, namun hatinya lembut dan maha mengasihi. Beliau tinggal di pegunungan dan dipandang sebagai Dewa pengasih kepada semua makhluk, bagaikan seorang ayah yang mengasihi anaknya. Beliau adalah dukunnya para dukun yang memiliki berjenis-jenis pengobatan, dengan julukan Jalasa Bhesaya (pemilik obat yang sejuk). Hujan yang disertai dengan angin ribut dan geledek yang memberikan kesuburan adalah tenaga pengobatannya. Dewa Rudra juga disebut dengan Tryambaka, Kapardin dan delapan aspek dari Rudra adalah Siwa, Bhawa, Isana, Pasupati, Bhima, Ugra, Mahadewa, dan Rudra.

Berikut ini adalah mantra untuk memuliakan Dewa Rudra, yang termuat dalam kitab suci weda;

”Tvadattebhi Rudra samtamebhe, satam hima asiya bhesa jebhih, Vi
asmad dveso vitaram vyambho, vi amivas catayasva visucih”.
Terjemahannya;
Dengan obat-obatan yang amat menyegarkan, engkau berikan, oh Rudra, semoga hamba mencapai hidup seratus musim dingin. Usirlah jauh-jauh kebencian, kesedihan, dan penyakit dari kami dalam semua arah.

”Srestho jatasya Rudra sriyasi tavatamas tavatam vajrabaho, Parsi
nah param ambasah suasti, visva abhiti rapaso yuyodhi”.
Terjemahannya;
Engkau adalah yang terbaik dari yang lahir, dalam hal kemuliaan, oh Rudra dalam kemuliaan, paling kuasa dalam hal kekuasaan, oh pemegang vajra.

d. Dewa Waruna

Dewa Waruna disebut juga Baruna. Beliau selalu dihubungkan dengan dewa laut. Kata waruna berasal dari kata Var (menutup atau membentang) yang berarti melindungi dari segala penjuru. Dari kata ini kemudian dihubungkan dengan laut. Dewa Waruna mengamati semua mahkluk dari tempatnya yang tinggi, dimana matahari diyakini sebagai istana-Nya. Beliau digambarkan sebagai laki-laki yang tampan berkulit putih mengendarai monster laut yang disebut Makara (Gajahmina) berupa binatang laut yang pada bagian depannya berwujud seekor kijang, sedangkan bagian belakangnya berwujud seekor ikan. Istri Waruna bernama Waruni yang tinggal di istana mutiara. Dewa Waruna

adalah penguasa hukum alam yang disebut Rta. Nama lain dari Dewa Waruna adalah Pracheta (yang bijaksana), Jalapati (raja air), Yadapati (raja binatang laut), Ambhuraja (raja air), Pasi (yang membawa jaring). Berikut ini adalah mantra yang termuat dalam kitab suci weda untuk memuliakan Dewa Waruna;

”Agam su tubhayam varuna svadhavo, hdri stoma upasritas cid astu,
sam nah kseme sam u yoge no astu, yuyam pata svastibhih sada nah”.
Terjemahannya;
Semoga pujaan ini berkenan pada hatimu. Oh Waruna yang bebas.
Semoga kami selamat dalam istirahat, selamat dari kerja. Lindungilah
kami selalu dengan berkahmu.

”Prece tad eno varuna didrksu po emi cikituse viprccham, Samanam in
me kanvayas cid ahur, ayam ha tubhyam varuno hrnite”.
Terjemahannya;
Kami bertanya tentang dosa itu dengan maksud ingin mengetahuinya.
Kami mendekati dia yang arif untuk bertanya. Sang Pendeta mengatakan satu dan hal yang sejenis kepada kami. Waruna ini marah kepadamu.

Pada zaman weda ajaran agama Hindu lebih menonjolkan pembacaan ayat-ayat mantra yang tertulis dalam berbagai kitab suci weda. Para Dewa dipuja dengan khusyuknya. Pemujaan terhadap para dewa pada masa ini ditujukan kehadapan Dewa; Agni, Indra, Rudra dan Waruna. Demikianlah sejarah perkembangan agama Hindu pada zaman weda, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab suci weda.

2. Zaman Brahmana.

Kata Brahmana berarti penjelasan atau ekspresi dari seorang pendeta yang cerdas dan bijaksana dalam hal ilmu upacara. Brahmana dapat diartikan kumpulan pertanyaan-pertanyaan dan diskusi-diskusi mengenai ilmu upacara. Munculnya zaman Brahmana ditandai dengan terbitnya kitab Brahmana. Kitab brahmana banyak memuat tentang upacara dan tata cara melaksanakan upacara keagamaan. Materi pokok yang dibicarakan dalam kitab brahmana adalah tentang upacara yadnya yang meliputi; arti yadnya, persyaratan yadnya, dan kekuatan gaib yang ada dalam upacara itu. Pada zaman brahmana pelaksanaan upacara yadnya dipandang sebagai sesuatu yang amat penting, sehingga kehidupan keagamaan pada waktu itu sangat didominasi oleh pelakasanaan upacara. Setiap pelaksanaan upacara keagamaan wajib mengikuti aturan-aturan yang telah ada dan setiap penyimpangan dari peraturan itu berarti batalnya upacara itu.

Unsur-unsur upacara yang ada dalam kitab weda dikembangkan secara luas di dalam kitab Brahmana. Bila di zaman weda pelaksanaan upacara keagamaan memiliki arti untuk memohon waranugraha dari para dewata, sedangkan pada zaman brahmana para dewata dipandang memiliki kedudukan yang sangat penting terutama dalam sistem upacara. Menurut para ahli, menyatakan bahwa kitab-kitab brahmana juga berisi mitologi tentang; kejadian alam atau kosmologi, legenda legenda atau dongeng-dongeng, namun tema-temanya tetap utuh mengenai upacara yang merupakan titik awal dari setiap diskusi dan pemecahannya.

Adanya kehidupan bermasyarakat yang bersifat ritualistis pada zaman brahmana itu, merupakan dasar untuk menuju pada tingkat kehidupan spiritual berikutnya yaitu ajaran karma dan jnana. Dengan demikian maka pelaksanaan upacara, karma, dan jnana dapat berjalan sebagaimana mestinya pada zaman itu. Untuk memudahkan pelaksanaan upacara yadnya, maka dibuatlah kitab-kitab penuntun yang disebut Kalpasutra. Kitab kalpasutra bersumber pada kitab brahmana, dan dimaksudkan dapat dipergunakan sebagai pedoman bagi setiap orang yang telah berumah tangga dan bermasyarakat. Menurut isinya, kitab kalpasutra dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis antara lain:

a. Srautasutra.

Kitab ini memuat tentang penjelasan tata cara persembahyangan agnihotra dan tata cara persembahyangan dasa purnamas, yaitu persembahyangan yang dilakukan pada hari purnama dan tilem atau bulan mati. Selain itu juga ada kitab penuntun upacara-upacara besar dalam lingkungan keluarga raja dan negara, misalnya upacara Rajasuya dan Aswaweda. Rajasuya adalah upacara penobatan seseorang untuk menjadi raja, sedangkan Aswaweda upacara pelepasan kuda yang diikuti oleh sepasukan tentara untuk menentukan wilayah suatu kerajaan.

b. Grhyasutra.

Kitab ini memuat tentang pokok-pokok ajaran tata upacara penyucian atau sangaskara yang wajib dilakukan oleh mereka yang telah berumah tangga, mulai dari upacara garbhasadhana samskara (Upacara bayi dalam kandungan) sampai dengan upacara Antyesti samskara (upacara kematian). Sesungguhnya kitab Grhyasutra merupakan kitab penuntun melaksanakan upacara yadnya yang kanista dalam lingkungan keluarga, dan dapat dilakukan setiap hari atau berkala. Upacara yang dilaksanakan setiap hari seperti; persembahyangan Tri Sandhya, mengaturkan canang, mesegeh untuk para mahkluk halus dan sebagainya (disesuaikan dengan tempat). Sedangkan upacara yadnya dilakukan secara berkala, misalnya upacara ulang otonan, potong gigi, perkawinan, piodalan di Merajan, upacara pitra yadnya, dan lain sebagainya.

c. Dharmasastra.

Kitab ini memuat tentang pokok-pokok ajaran agama Hindu yang berhubungan dengan; hukum, adat kebiasaan, hak dan kewajiban, sosial-politik, ekonomi, dan upacara agama lainnya dengan penekanan pada pelaksanaannya.

d. Sulwasutra.

Kitab ini memuat penjelasan tentang pokok-pokok aturan tata bangunan. Disamping itu juga memuat tentang ukuran membuat altar yang ada kaitannya dengan kebutuhan upacara sebagaimana termuat dalam kitab Srautasutra.

Dari beberapa penjelaskan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan agama Hindu pada zaman brahmana telah sampai ke India bagian tengah, yaitu di dataran tinggi Dekan disekitar lembah sungai Yamuna. Ditempat inilah ditulis peraturan-peraturan mengenai tuntunan upacara dan tata susila. Dasar penyusunannya adalah berdasarkan pada kitab weda, dengan demikian kebenaran isinya tidak perlu diragukan lagi.

Pelaksanaan upacara yadnya pada zaman Brahmana selalu disertai dengan mantra-mantra catur weda sruti yang dirapalkan oleh para pendeta. Pendeta yang khusus bertugas merafalkan Rg.Weda disebut dengan nama Hotri, untuk Sama Weda disebut dengan Udgatri, untuk Yajur Weda disebut dengan Adwaryu, sedangkan pendeta yang merapalkan kitab Atharwa Weda disebut dengan nama Brahmana.

Mengingat betapa pentingnya upacara yadnya yang dilakukan pada waktu itu, maka rapalan-rapalan mantra weda sruti pun harus menyertai dan diucapkan dengan baik dan benar. Oleh sebab itu, ke empat bagian dari weda sruti harus dipelajari secara baik oleh para pendeta yang membacanya pada waktu upacara berlangsung.

Sedangkan kehidupan masyarakat pada zaman brahmana terbagi menjadi empat kelompok yang disebut dengan istilah Catur Asrama yaitu (Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta, Samyasin). Keempat system inilah yang dipergunakan sebagai penuntun umat untuk mencapai kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya pemikiran yang ada pada zaman brahmana merupakan pendahuluan dari pemikiran yang bersifat metafisik. Pemikiran semacam ini pada dasarnya sudah ada di zaman weda, hanya saja pada zaman Brahmana pemikiran itu diperluas dengan bentuk yang abstrak dan sistematis.

Konsep ketuhanan pada zaman brahmana bersifat satu kesatuan dalam arti bahwa keberadaan para dewa yang banyak itu pada hakekatnya berasal dari dewa yang dipandang sebagai asal mula semua yang ada. Semua yang ada di alam semesta ini dipandang sebagai perwujudan dari dewa yang satu, yang disebut Brahman atau Prajapati. Beliau adalah maha kuasa, adi kodrati, kekal, dan yang dipandang sebagai Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta beserta dengan isinya.

Manusia pada zaman Brahmana dipandang sebagai mahkluk yang paling utama di Bumi, yang terdiri dari dua bagian, yaitu ”nama” dan ”rupa”. Yang dimaksud dengan ”Nama” adalah unsur-unsur rohani yang menentukan proses hidup, terdiri dari; citta, budhi, ahamkara, manas, indriya-indriya, dan atman. Diantara semua unsur-unsur rohani ini atman dipandang paling menentukan hidup manusia di dunia ini.

Sedangkan yang dimaksud dengan ”Rupa” adalah bagian yang bersifat fisik, yaitu daging, tulang, sumsum, rambut kulit dan sebagainya. Jika seorang meninggal dunia, maka unsur-unsur rohani itu meninggalkan unsur-unsur fisik, dan kemudian unsur-unsur fisik itu kembali ke asalnya, yaitu alam Panca Maha Bhuta. Mengenai hubungan manusia dengan alam semesta pada zaman brahmana dinyatakan sebagai sesuatu yang bersifat pararel atau sejajar, dengan demikian terjadi hubungan yang harmonis dalam kehidupan ini. Dalam kenyataan hidup ini dikemukakan dengan beberapa contoh sebagai berikut; wajah disamakan dengan bumi, suara disamakan dengan api, mata disamakan dengan matahari, telinga disamakan dengan penjuru alam, nafas disamakan dengan bulan. Sebagai asas alam disamakan dengan angin, dan akal disamakan dengan bulan. Alam semesta dipandang sebagai Brahman/Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan yang dipandang sebagai asas manusia adalah Atman. Kedua azas yang ada pada zaman Brahmana ini, kemudian disatukan pada zaman Upanisad.

Kehidupan alam akhirat pada zaman Brahmana dikatakan ada dua macam, yaitu alam nenek moyang atau alam pitara dan alam para dewa yang disebut dengan surga. Bagi mereka yang berbuat baik dan melakukan yadnya sesuai dengan kitab suci setelah mereka meninggal dunia mencapai surga.

Sedangkan mereka yang perbuatan baik dan perbuatan buruknya seimbang dilahirkan kembali ke dunia ini. Kelahiran kembali ke dunia sebagai manusia dipandang sebagai suatu anugrah dari Brahman. Sehubungan dengan itu, maka nasib manusia di dunia sangat dipengaruhi oleh karma wasana masing-masing.

Demikianlah ajaran keyakinan mengenai adanya Brahman, atman, karma, punarbhawa, dan moksa, sesungguhnya telah ada pada zaman Brahmana dan kemudian mendapat penyempurnaan pada zaman berikutnya, yaitu pada zaman Upanisad.

3. Zaman Upanisad.

Sejalan berkembangnya zaman, agama Hindu pun terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman yang dilaluinya. Pada zaman upanisad perkembangan agama kita dimulai dari daratan tinggi Dekan di lembah sungai Yamuna terus meluas sampai ke lembah sungai Gangga yang

penduduknya bermata pencahariaan sebagai pedagang. Sehubungan dengan itu maka kehidupan mereka beragama lebih menekankan pada halhal yang bersifat filosofis dari pada pelaksanaan upacara. Dengan demikian munculah diskusi-diskusi keagamaan antara para Maha Rsi sebagai guru dengan para siswanya. Dari para siswanya yang selalu aktif mendalami

agama dengan metode diskusi akhirnya menimbulkan perkembangan filsafat Hindu yang lebih menekankan pada aspek jnana.

Dalam diskusi para siswa duduk dibawah dekat kaki guru kerohanian atau para Maha Rsi. Para Maha Rsi memberikan jawaban dari permasalahan yang disampaikan oleh para siswanya dengan tetap berpedoman pada ajaran kitab suci Weda. Dengan demikian kebenaran yang didapat oleh para siswa kerohanian itu tidak perlu diragukan. Cara pendalaman ajaran agama dengan berdiskusi seperti itu disebut Upanisad. Periode ini dikatakan berkembang ± tahun 800 – 300 SM (Team Penyusun ”Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi” Anuman Sakti, 1996).

Fase perkembangan fisafat Hindu pada masa itu disebut dengan zaman Upanisad. Pada masa ini pulalah bermunculan berbagai macam kitab-kitab upanisad.

Kitab Upanisad merupakan bagian Jnana kanda dari kitab weda sruti, yang isinya bersifat ilmiah, spekulatif, tetapi tetap pada ruang lingkup keagamaan. Pada umumnya kitab-kitab upanisad berisi pembahasan tentang hakekat Brahman, atman, hubungan Brahman dengan atman, hakikat maya, hakikat widya, serta mengenai moksa atau kelepasan. Pandangan yang menonjol dalam ajaran upanisad adalah mengajarkan bahwa segala sesuatu yang bermacam-macam ini dialirkan dari satu azas, satu realitias tertinggi yang tidak dapat dilihat, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat ditangkap oleh akal manusia, tetapi melingkupi segala yang ada di alam semesta ini. Itulah yang disebut dengan Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Brahman itulah yang dipandang sebagai pusat, awal, dan berakhirnya segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, serta bersifat transenden dan imanen.

Transenden berarti Brahman ada di luar batas alam pikir manusia, sedangkan imanen berarti Brahman ada di dalam batas pikir manusia. Dalam kitab Brhad Aranyaka Upanisad disebutkan Brahman itu bersifat Neti-neti, artinya bukan kasar, bukan pendek, bukan panjang, bukan bayangan, bukan kegelapan, bukan hawa, tanpa ukuran, tanpa lahir, tanpa bhatin, dan sejenisnya. Dari pernyataan ini dapatlah dikemukakan bahwa Brahman bukanlah suatu substansi dan bukan tidak memiliki sifat-sifat. Brahman memiliki sifat Sat Cit Ananda, yang artinya keberadaan, kesadaran, dan kebahagiaan. Dari ungkapan ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa Brahman adalah satu-satunya realitas yang bersifat mutlak yang meliputi segala yang ada, yang sadar, dan bersifat rohani.

Dengan demikian Brahman dipandang sebagai sumber alam semesta, sumber semua mahkluk, dan penguasa segala yang ada. Pada zaman Upanisad keberadaan atman disebutkan meliputi segala sesuatu yang ada ini. Dan Atman berada dalam lubuk hati manusia. Atman yang ada dalam tubuh manusia dilapisi oleh lapisan zat yang disebut Panca Maya Kosa. Adapun unsur-unsur dari adalah;
a. Anamaya kosa = lapisan badan jasmani yang berasal dari makanan.
b. Pranamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari prana atau energi.
c. Manomaya kosa = lapisan yang berasal dari alam rasa dan pikiran.
d. Wijnanamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari alam kesadaran.
e. Anandamaya kosa = lapisan badan yang berasal dari kesadaran yang membahagiakan.

Semua lapisan itu dapat berubah-ubah, sedangkan atman adalah subyek yang tetap ada diantara semua yang berubah-ubah itu. Atman bebas dari dosa-dosa, umur, tua, maut, rasa lapar, dahaga, dan kesusahan. Atman berada dalam keadaan yang bermacam-macam. Misalnya seperti dalam

keadaan terjaga atau jagrapada, dalam mimpi atau svapnapada, dalam tidur nyenyak atau susuptipada, dalam keadaan turya, yakni atman berada dalam kesadaran yang intuitif, dimana tidak ada lagi pengetahuan akan obyekobyek baik yang ada diluar maupun yang di dalam.

Disinilah atman dinyatakan berada dalam alam yang sejati, yang penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian. Dalam zaman Upanisad selanjutnya dinyatakan bahwa atman itu sesungguhnya adalah Brahman yang dibatasi oleh sarana tambahan, berupa tubuh. Orang yang mengetahui atman mengetahui pula Brahman yang merupakan inti segala yang ada dan yang mesti ada di alam semesta ini. Mengenai ajaran Karma pada zaman Upanisad dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang selalu diikuti oleh pahala atau akibatnya. Sesungguhnya ajaran karma berakar pada ajaran Rta yang ada pada zaman weda. Rta adalah hukum alam semesta.

Pada zaman brahmana, Rta disamakan artinya dengan yadnya. Setiap upacara yadnya yang dilakukan oleh umat pada zaman itu mendapat pahala yang baik. Demikian pula sebaliknya, siapa saja yang berani berbuat buruk pasti menerima pahala yang buruk juga. Ajaran karma bukan saja berlaku pada kehidupan sekarang tetapi juga berlaku pada masa kehidupan yang datang.

Sehubungan dengan itu, maka timbulah ajaran tentang kelahiran kembali ”punarbhawa”, yang sudah dikenal pada zaman weda dan zaman brahmana. Ajaran tentang kelahiran kembali atau punarbhawa pada zaman brahmana dipandang sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Esa.

Pada zaman Upanisad sudah muncul suatu persoalan dan pertanyaan, seperti; mengapa kehidupan seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada orang yang dilahirkan sebagai orang yang miskin, ada orang yang dilahirkan sebagai orang yang kaya, orang cacat, ada yang cantik, ada yang tampan, namun ada pula orang yang dilahirkan sebagai penjahat. Semua permasalah dan persoalan itu dalam zaman Upanisad dijelaskan karena ada karma sebagai suatu mata rantai kehidupan yang amat panjang. Karma bukan saja menguasai kehidupan yang datang, juga kehidupan yang telah lalu serta kehidupan pada masa sekarang. Kehidupan pada masa sekarang ditentukan oleh kehidupan masa lalu, kehidupan masa sekarang menentukan kehidupan masa yang datang.

Demikianlah manusia dilahirkan secara berulang-ulang, dalam ajaran Agama Hindu yang disebut Punarbhawa. Bila seorang meninggal dunia, badan halusnya terpisah dengan badan kasarnya, semua karma wesana yang ada di badannya melekat pada badan halusnya. Badan halus hidup bersama atman yang kemudian menjelma mengambil badan baru. Proses punarbhawa ini sangat sulit diketahui oleh orang biasa, kecuali oleh para maharsi karena semua itu kehendak dari Brahman itu sendiri. Tujuan hidup tertinggi umat Hindu adalah dapat mencapai moksa atau kelepasan yakni bersatunya atman dengan Brahman. Pada zaman Upanisad, jalan untuk mencapai moksa dapat dilalui dengan jalan berbuat baik, bakti, tapa, brata, dan yoga, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab-kitab upanisad.

Pemikiran yang ada dalam kitab Upanisad sangat berpengaruh dalam tata pikir ajaran agama Hindu yang sangat toleran terhadap berbagai macam perbedaan yang ada. Oleh karena itu terjemahan kitab upanisad sebagai satu kesatuan pemikiran untuk mendapatkan pandangan dan pegangan yang lebih luas dan sempurna tentang weda sangat diperlukan. Secara historis dapat diakui bahwa proses perkembangan agama Hindu pada hakekatnya dimulai dari penafsiran otentik. Cara-cara itu telah dituliskan dalam kitab Upanisad dan dalam kitab-kitab Brahmana.

Tanpa memahami dasar-dasar pengertian yang ada dalam kitab Upanisad, sulitlah memahami kedalaman ajaran agama Hindu secara lebih baik. Secara tradisi dalam kitab Muktika Upanisad disebutkan jumlah kitab Upanisad itu ada seratus delapan (108) buah buku. Dari seratus delapan buah buku itu dapat dikelompokan menurut weda sruti, sebagai berikut;

a. Upanisad yang tergolong kelompok Rg. weda, berjumlah 10 buah buku terdiri dari; Aitarya, Kausitaki, Nada-Bindu, Nirwana, Atmaprabodha, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Sambhagya, dan Bahwrca Upanisad.

b. Upanisad yang tergolong kelompok Samaweda, berjumlah 16 buah buku, terdiri dari; Kena, Chandogya, Aruni, Maitrayani, Maitreyi, Wajrasucika, Yogacudamani, Wasudewa, Mahat, Sanyasa, Awyakta, Kandika, Sawitri, Rudaksa-Jabala, Darsana, dan Jabali Upanisad.

c. Upanisad yang tergolong kelompok Yajurweda, terdiri dari dua bagian besar, yaitu:
  1. Upanisad yang tergolong dalam kelompok Yajurweda Hitam, berjumlah 32 buah buku antara lain; Kathawali, Taittiriyaka, Brahma, Kaiwalya, Swetaswatara, Gharba, Narayana, Amrtabhindu, Asartanada, Katagnirudra, Kansikasi, Sarwasara, Sukharahasya, Tejobhindu, Dhyanabhindu, Brahmawidya, Yogatattwa, Daksinamurti, Skanda, Sariraka, Yogasikha, Ekaksara, Aksi, Awadhuta, Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini, Pancabrahma, Paramagnihotra, Waraha, Kalisandarana, dan Saraswatirahasya Upanisad.
  2. Upanisad yang tergolong Yajurweda Putih, terdiri dari 19 buah buku yaitu; Isawasya, Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paraahamsa, Subaia, Mantraika, Niralamba, Trisihibrahmana, Mandalabrahma, Adwanyataraka, Pingalu-bhiksu, Turiyatika, Adhyatma, Tarasara, Yajnyawalkya, Satyayani, dan Muktita Upanisad.
d. Upanisad yang tergolong kelompok Atharwaweda, terdiri dari 31 buah buku Upanisad, antara lain; Prasna, Munduka, Mandukya, Atharwasira, Atharwasikha, Brhadjabala, Narasimhatapini, Naradapariwrajaka, Sita, Mahanarayana, Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya, Parahamsapari, Warajaka, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahmana, Tripura tapini, Dewi, Bhawana, Brahma, Ganapati, Mahawakya, Gopalatapini, Kresna, Hayagriwa, Dattatreya, dan Garuda Upanisad. Di antara semua kitab Upanisad itu, menurut Maharsi Sankaracharya ada 11 kitab Upanisad yang dipandang utama, yaitu: Isa, Kena, Katha, Prasna, Mudaka, Mandukya, Taittriya, Aitareya, Candhogya, Brhadaranyaka, dan Swetaswatara Upanisad.
Token absen: J4Y4H1NDU
Materi pokok-pokok yang dibicarakan pada kitab-kitab Upanisad secara umum adalah mengenai hakekat metafisika tanpa mengadakan penekanan pada aspek ritualnya. Demikian pula mengenai tata kemasyarakatan yang menyangkut sistem warna hampir tidak dibicarakan. Sehubungan denganitu, maka isi pokok Upanisad lebih banyak merupakan ajaran filsafat dengan penekanan pada aspek kerohaniaan yang meliputi Brahman, Atman, Maya, Widya-Awidya, Etika, Karma, Samsara, dan Moksa. Pada zaman Upanisad sistem hidup kerohanian masyarakat tumbuh dan berkembang dengan subur, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya berbagai macam aliran filsafat keagamaan. Seluruh aliran filsafat itu dikelompokkan menjadi 9 yang disebut ”Nawa Darsana” terdiri dari; Astika atau Sad Darsana, yang meliputi; Nyaya, Waesiseka, Mimamsa, Samkhya, Yoga, dan Wedanta. Sedangkan Nastika, meliputi; Budha, Carwaka, dan Jaina.

Demikian uraian singkat sejarah perkembangan agama Hindu di India yang dihubungkan dengan adanya zaman weda, brahmana, dan zaman upanisad. Pada hakikatnya satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, karena semuanya menjadi fondasi dari sejarah perkembangan agama Hindu selanjutnya.

Post a Comment for "Perkembangan Agama Hindu di India"