Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Syarat-syarat dan Aturan dalam Pelaksanaan Yajña

Yajña dalam Mahabharata dan Masa Kini

Syarat-syarat dan Aturan dalam Pelaksanaan Yajña

Perenungan

Svar yanto nāpekṣanta, ā dyaṁ rohanti rodasi.
yajñam ye vi vatodharam, savidvamso vitenire”.
Terjemahannya:
”Para sarjana yang terkenal yang melaksanakan pengorbanan, mencapai kahyangan (sorga) tanpa suatu bantuan apa pun. Mereka membuat jalan masuk dengan mudah ke kahyangan (sorga), yang menyeberangi bumi dan wilayah- pertengahan”. (Yajur Veda XXIII.62)

Soma rārandhi no hṛdhi gāvo na yavaseṣv ā,
marya iva sva okye”.
Terjemahannya.
”Tuhan Yang Mahapengasih, semoga Engkau berkenan bersthana pada hati nurani kami (tubuh kami sebagai pura), seperti halnya anak-anak sapi yang merumput di padang subur, seperti pula seorang gadis di rumahnya sendiri”.
(Rg Veda I. 91.13).

Memahami Teks

Melaksanakan yajña bagi umat Hindu hukumnya wajib. Segala sesuatu yang dilaksanakan tanpa dilandasi oleh yajña adalah sia-sia. Bagaimana agar semua yang kita laksanakan dapat bermanfaat dan berkualitas, kitab Bhagavad Gita menyebutkan sebagai berikut.

Aphalākāòkṣibhir yajòo vidhi-dṛṣþo ya ijyate,
yaṣþavyam eveti manaá samādhāya sa sāttvikaá”.
Terjemahannya adalah.
“Yajña menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan oleh orang tanpa mengharap pahala dan percaya sepenuhnya bahwa upacara ini sebagai tugas kewajiban, adalah sattvika”. (Bhagavad Gita. XVII.11).

Abhisandhāya tu phalaṁ danbhārtham api çaiva yat,
ijyate bharata-ṡrestha taṁ viddhi rājasam”.
Terjemahannya adalah.
“Tetapi persembahan yang dilakukan dengan mengharap balasan, dan semata- mata untuk kemegahan belaka, ketahuilah, wahai Arjuna, yajña itu adalah bersifat rajas”. (Bhagavad Gita. XVII.12).

Vidhi-hinam asṛṣtānnaṁ mantra-hìnam adakṣiṇam,
ṡraddhā-virahitaṁ yajñaṁ tāmasaṁ paricakṣate”.
Terjemahannya adalah.
“Dikatakan bahwa yajña yang dilakukan tanpa aturan (bertentangan), di mana makanan tidak dihidangkan, tanpa mantra dan sedekah serta tanpa keyakinan dinamakan tamas”. (Bhagavad Gita. XVII.13).

Memahami Teks Sarpayajña



Pada zaman Mahabharata dikisahkan Panca Pandawa melaksanakan Yajña Sarpa yang sangat besar dan dihadiri seluruh rakyat dan undangan yang terdiri atas raja- raja terhormat dari negeri tetangga. Bukan itu saja, undangan juga datang dari para pertapa suci yang berasal dari hutan atau gunung. Tidak dapat dilukiskan betapa meriahnya pelaksanaan upacara besar yang mengambil tingkatan utamaning utama.

Menjelang puncak pelaksanaan yajña, datanglah seorang brahmana suci dari hutan ikut memberikan doa restu dan menjadi saksi atas pelaksanaan upacara yang besar itu. Seperti biasanya, setiap tamu yang hadir dihidangkan berbagai macam makanan yang lezat dalam jumlah yang tidak terhingga. Kepada brahmana utama ini diberikan suguhan yang enak-enak. Setelah melalui perjalanan yang sangat jauh dari gunung ke ibu kota Hastinapura, ia sangat lapar dan pakaiannya mulai terlihat kotor. Begitu dihidangkan makanan oleh para dayang kerajaan, Sang Brahmana Utamapun langsung melahapnya dengan cepat bagaikan orang yang tidak pernah menemukan makanan. Bersamaan dengan itu melintaslah Dewi Drupadi yang tidak lain adalah penyelenggara yajña besar tersebut. Melihat cara Brahmana Utama menyantap makanan dengan tergesa-gesa, berkomentarlah Drupadi sambil mencela. “Kasihan Brahmana Utama itu, seperti tidak pernah melihat makanan, cara makannya tergesa- gesa,”kata Drupadi dengan nada mengejek. Walaupun jarak antara Dewi Drupadi dengan Sang Brahmana Utama cukup jauh, tetapi karena kesaktiannya ia dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Drupadi. Sang Brahmana Utama diam, tetapi batinnya kecewa. Drupadi pun melupakan peristiwa tersebut.

Dalam ajaran agama Hindu, disampaikan bahwa apabila kita melakukan tindakan mencela, maka pahalanya akan dicela dan dihinakan. Terlebih lagi apabila mencela seorang Brahmana Utama, pahalanya bisa bertumpuk-tumpuk. Dalam kisah berikutnya, Dewi Drupadi mendapatkan penghinaan yang luar biasa dari saudara iparnya yang tidak lain adalah Duryadana dan adik-adiknya.

Di hadapan Maha Raja Drestarata, Rsi Bisma, Begawan Drona, Kripacarya, dan Perdana Menteri Widura serta disaksikan oleh para menteri lainnya, Dewi Drupadi dirobek pakaiannya oleh Dursasana atas perintah Pangeran Duryadana. Perbuatan biadab merendahkan kehormatan wanita dengan merobek pakaian di depan umum, berdampak pada kehancuran bagi negeri para penghina. Terjadinya penghinaan terhadap Drupadi adalah pahala dari perbuatannya yang mencela Brahmana Utama ketika menikmati hidangan.

Dewi Drupadi tidak bisa ditelanjangi oleh Dursasana, karena dibantu oleh Krisna dengan memberikan kain secara ajaib yang tidak bisa habis sampai adiknya Duryadana kelelahan lalu jatuh pingsan. Krisna membantu Drupadi karena Drupadi pernah berkarma baik dengan cara membalut jari Krisna yang terkena Panah Cakra setelah membunuh Supala. Pesan moral dari cerita ini adalah, kalau melaksanakan yajña harus tulus ikhlas, tidak boleh mencela dan tidak boleh ragu-ragu.

Syarat-syarat Pelaksanaan Yadnya

Agar pelaksanaan yajña lebih efisien, maka syarat pelaksanaannya perlu mendapat perhatian, yaitu sebagai berikut.


  1. Sastra, yaitu yajña harus berdasarkan Veda.
  2.  Sraddha, yaitu yajña harus dengan keyakinan.
  3. Lascarya, keikhlasan menjadi dasar utama yajña.
  4. Daksina, memberikan dana kepada pandita.
  5. Mantra, puja, dan gita, wajib ada pandita atau pinandita.
  6. Nasmita atau tidak untuk pamer, jangan sampai melaksanakan yajña hanya untuk menunjukkan kesuksesan dan kekayaan.
  7. Anna Sevanam, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cara mengundang makan bersama.
  8. Dalam Bhagavad Gita XVII. 11, 12, dan 13 disebutkan ada tiga kualitas yajña, yakni satwika yadnya, tamasika yadnya dan rajasika yadnya.

TIGA KUALITAS YADNYA

a) Satwika Yajña

Satwika Yajña adalah kebalikan dari Tamasika Yajña dan Rajasana Yajña bila didasarkan penjelasan Bhagawara Gita tersebut di atas. Satwika Yajña adalah yajña yang dilaksanakan sudah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Syarat-syarat yang dimaksud, antara lain sebagai berikut.
  1. Yajña harus berdasarkan sastra. Tidak boleh melaksanakan yajña sembarangan, apalagi didasarkan pada keinginan diri sendiri karena mempunyai uang banyak. Yajña harus melalui perhitungan hari baik dan buruk, yajña harus berdasarkan sastra dan tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat.
  2. Mengingat arti yajña itu adalah pengorbanan suci yang tulus ikhlas, Sang Yazamana atau penyelenggara yajña tidak boleh kikir dan mengam- bil keuntungan dari kegiatan yajña. Apabila dilakukan, maka kualitasnya bukan lagi disebut sattwika.
  3. Yajña harus menghadirkan sulinggih yang disesuaikan dengan besar kecilnya yaj- ña. Kalau yajñanya besar, sebaiknya hadirkan seorang sulinggih dwijati atau pandita. Tetapi kalau yajñanya kecil, cukup dipuput oleh seorang pemangku atau pinandita saja.
  4. Dalam setiap upacara yajña, Sang Yajamana harus mengeluarkan daksina. Daksina adalah dana uang kepada sulinggih atau pinandita yang muput yajña. Jangan sampai tidak melakukan itu, karena daksina adalah bentuk dari Rsi Yajña dalam Panca Yajña.
  5. Yajña juga sebaiknya menghadirkan suara genta, gong atau mungkin Dharmagita. Hal ini juga disesuaikan dengan besar kecilnya yajña. Apabila biaya untuk melaksanakan yajña tidak besar, maka suara gong atau dharmagita boleh ditiadakan.
b) Rajasika Yajña

Rajasika Yajña adalah yajña yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya dan dilakukan hanya untuk pamer saja. Kualitas yajña ini relatif sangat rendah. Walaupun semua persyaratan dalam sattwika yajña sudah terpenuhi, namun apabila Sang Yajamana atau yang menyelenggarakan yajña ada niat untuk memperlihatkan kekayaan dan kesuksesannya, maka nilai yajña itu menjadi rendah.

Dalam Siwa Purana disampaikan bahwa seorang raja mengundang Dewa Siwa untuk menghadiri dan memberkati yajña yang akan dilaksanakannya. Dewa Siwa mengetahui bahwa tujuan utama mengundang-Nya hanyalah untuk memamerkan jumlah kekayaan, kesetiaan rakyat, dan kekuasaannya.



Mengetahui niat tersebut, raja pun mengundang Dewa Siwa. Pada hari yang telah ditentukan, Dewa Siwa tidak mau datang, tetapi mengirim putranya yang bernama Dewa Gana untuk mewakili-Nya menghadiri undangan Raja itu. Dengan diiringi banyak prajurit, berangkatlah Dewa Gana ke tempat upacara. Upacaranya sangat mewah, semua raja tetangga diundang, dan seluruh rakyat ikut memberikan dukungan.

Dewa Gana diajak berkeliling istana oleh raja sambil menunjukkan kekayaannya berupa emas, perak, dan berlian yang jumlahnya bergudang- gudang. Dengan bangga, raja menyampaikan berapa jumlah emas dan berliannya. Sementara rakyat dari kerajaan ini masih hidup miskin karena kurang diperhatikan oleh raja dan pajaknya selalu dipungut oleh Raja.

Mengetahui hal tersebut, Dewa Gana ingin memberikan pelajaran kepada Sang Raja. Ketika sampai pada acara menikmati makanan dan minuman, Dewa Gana pun menghabiskan seluruh makanan yang ada. Bukan itu saja, seluruh perabotan berupa piring emas dan lain sebagainya semua dihabiskan oleh Dewa Gana. Raja menjadi sangat bingung sementara Dewa Gana terus meminta makan. Apabila tidak diberikan, Dewa Gana mengancam akan memakan semua kekayaan dari Sang Raja.

Khawatir kekayaannya habis dimakan Dewa Gana, Raja ini kembali menghadap Dewa Siwa dan mohon ampun. Lalu diberikan petunjuk dan nasihat agar tidak sombong karena kekayaan dan membagikan seluruh kekayaan itu kepada seluruh rakyat secara adil. Kalau menyanggupi, barulah Dewa Gana menghentikan aksinya minta makan terus kepada Raja. Dengan terpaksa Raja yang sombong ini menuruti nasihat Dewa Siwa yang menyebabkan kembali baiknya Dewa Gana. Pesan moral yang disampaikan cerita ini adalah, janganlah melaksanakan yajña berdasarkan niat untuk memamerkan kekayaan. Selain membuat para undangan kurang nyaman, juga nilai kualiatas yajña tersebut menjadi lebih rendah.

c) Tamasika Yajña

Ini adalah yajña yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya, tanpa mantra, tanpa ada kidung suci, tanpa ada daksina, tanpa didasari oleh kepercayaan. Tamasika Yajña adalah yajña yang dilaksanakan dengan motivasi agar mendapatkan untung.

Kegiatan semacam ini sering dilakukan sehingga dibuat Panitia Yajña dan diajukan proposal untuk melaksanakan upacara yajña dengan biaya yang sangat tinggi. Akhirnya yajña jadi berantakan karena Panitia banyak mencari untung.

Bahkan setelah yajña dilaksanakan, masyarakat ternyata berhutang di sana sini. Yajña semacam ini sebaiknya jangan dilakukan karena sangat tidak mendidik.



UJI KOMPETENSI
  1. Makna apa yang dapat dipetik dari pelaksanaan yajña dalam cerita Mahabharata?
  2. Coba ceritakan kembali sekilas tentang pelaksanaan yajña dalam cerita Mahabharata tersebut!
  3. Rangkumlah cerita diatasdanberikanlahkomentarmubagaimanamempersembahkan yajña agar berhasil! Sebelumnya diskusikanlah dahulu dengan orangtua di rumah.
  4. Coba sebut dan jelaskan syarat-syarat yang wajib dipedomani dalam melaksanakan yajña! Sebelumnya diskusikanlah dengan orangtuamu di rumah.
  5. Sebutkan tiga kualitas yajña dan berikan masing-masing penerapannya dalam kehidupan sehari-hari!

Post a Comment for "Syarat-syarat dan Aturan dalam Pelaksanaan Yajña"