Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LANDASAN SASTRA DALAM MEMBANGUN MERAJAN

Landasan Sastra dan Membangun Merajan

Walaupun di dalam beberapa buah pustaka tidak dijumpai istilah merajan atau sanggah, namun sudah dapatdipastikan bahwa yang disebut parhyangan tempat menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur tidak lain ialah apa yang sekarang lazim disebut merajan atau sanggah. Beberapa buah pustaka dapat dipakai pedoman mengenai keharusan mendirikan merajan atau sangga, diantaranya ialah:

a. Pustaka Suci Bhagawadgitha
Di dalam pustaka suci Bhagawadgitha pada bagian Arjuna Visadha Yogha çloka 42 disebutkan demikian:
samkara naraka yai'va kulaghana nam kulasya chapantati pitaro' hy esham luptapindodakakryah.

Terjemahannya kurang lebih sebagai berikut: keruntuhan moral ini membawa keluarga dan para pembunuhnya ke neraka, arwah moyang jatuh cedera semua sesajen, air dan nasi tiada baginya.
Dalam çloka ini dinyatakan bahwa kalau keluarga sudah hancur, maka kewajiban keluarga terhadap tradisi dan agama tidak terurus lagi, seperti upacara sradha, dimana dilakukan upacara mengenang jasa-jasa nenek moyang di pitraloka (tempat arwah mereka segera sesudah meninggal dunia sebelum mencapai sorga) dengan mempersembahkan sesajen yang terdiri dari makanan dan buah-buahan yang serba lezat. Tempat mengadakan persembahan tersebut adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur yang sekarang oleh masyarakat Hindu di Bali dikenal dengan istilah atau sebutan merajan atau sanggah.

b. Lontar Purwa Bhumi Kemulan

Di dalam lontar Purwa Bhumi Kemulan antara lain disebutkan sebagai berikut: yan tan semangkana tan tutug pali-pali sang Dewapitra manaken sira gawang tan molih ungguhan, tan hana pasenetanya.

Terjemahannya kira-kira demikian: bilamana belum sal dilaksanakan demikian (belum dibuatkan tempat suci),  belumlah selesai upacara yang dewapitra (leluhur) tidak mendapat suguhan dan tidak ada tempat tinggalnya. Di sini di maksudkan bahwa apabila tidak dilakukan upacara ngunggahang (ditempat suci) dewapitra (leluhur), maka upacara dewapitra (leluhur) ini belumlah selesai, dengan kutukan bahwa keturunan yang hanya tahu merasakan enaknya rasa makanan dan minuman untuk diri sendiri, tanpa berbhakti kepada leluhur, antara lain dengan tanpa melakukan upacara ngunggahang dewapitra (leluhur), maka sang dewapitra (leluhur) bisa menimbulkan kesengsaraan bagi keturunan bersama sanak keluarganya.

Lebih lanjut di dalam lontar ini dijelaskan demikian:
apan sang Dewapitranya salawase tan hana linggih tan hana jeneknya. 
Terjemahannya: oleh karena sang dewapitra (leluhur) tidak ada tempat menetapnya, dapat dijelaskan bahwa upacara ngunggahang dewapitra (leluhur) adalah untuk menetapkan sthana sementara dari dewapitra (leluhur) pada bangunan pemujaan sebagai simbolis, bahwa dewapitra (leluhur) telah mempunyai sthana (tempat) yang setarap dengan Dewa. 

c. Lontar Negarakrethagama

Di dalam lontar Negarakrethagama antara lain diuraikan seperti berikut: ngka tang nusantarane Balya matemahan secara ring Javabhumi, dharma mwang kramalawan kuwu tinapak adeh nyeki sampu tiningkah. Terjemahannya: waktu itu nusantara dan Bali seperti di pulau Jawa kewajiban termasuk candi, asrama dan pesanggerahan (rumah) semua aturannya tepat diterapkan dan dilakukan.

Dari bunyi lontar Negarakerthagama ini dapat disimpulkan yang diterapkan di Bali persis dan mengikuti keadaan di Jawa, terutama yang berkaitan dengan bangunan candi, pasraman dan pesanggerahan atau rumah, dan telah diteliti kebenarannya berdasarkan ketentuan-ketentuannya. Yang disebut candi tidak lain adalah parhyangan atau tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah para leluhur, yang sekarang dikenal oleh masyarakat Hindu di Bali dengan sebutan merajan/sanggah.

d. Lontar Çiwagama

Di dalam lontar Çiwagama antara lain diuraikan tentang ketentuan dan pengaturan di dalam hal mendirikan pelinggih (bangunan suci) yang disebut Ibu dan Panti. Yang dimaksud pelinggih (bangunan suci) di dalam lontar ini adalah tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur yang kini oleh masyarakat Hindu di Bali dikenal dengan istilah merajan/Sanggah.

Demikian beberapa buah pustaka yang memuat petunjuk mengenai keharusan membangun parhyangan atau tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci para leluhur yang sekarang oleh masyarakat Hindu di Bali dikenal dengan sebutan merajan/sanggah. Merajan atau sanggah yang ada sekarang di Bali, bukan saja sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja arwah suci pada leluhur, akan tetap juga sebagai tempat suci untuk memuliakan dan memuja Ida Sangyang Widhi Wasa.

Dalam segala prabhawa-Nya atau perwujudan-Nya (manifestasi-Nya). Hal ini dapat dibuktikan tatkala melakukan pemuspaan (sembahyang) manteranya demikian: 
Om, Brahma Wisnu Iswara Dewam Jiwatman Trilokanam, srwa jagat prastistanam, sudha klesa winasanam, Om Guru Paduka dipata ya namah.

Mengenai pertanyaan sejak kapan tradisi memuliakan dan memuja arwah suci leluhur? Dapat dijelaskan bahwa jauh sebelum masuknya Agama Hindu ke Bali tradisi menghormati serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur telah dilakukan. Hal ini dapat dibuktikan dengan terdapatnya benda-benda purbakala seperti menhir, kursi batu, meja batu, pundan berundak, dan diketemukan beberapa buah arca primitif.

Arca-arca itu diketemukan di beberapa tempat atau desa, seperti dipura Penataran Jro Agung Gelgel, daerah Klungkung, di pura Besakih, daerah Karangasem, di desa Keramas, daerah Gianyar, di desa Depaa dan desa Pohasem daerah Buleleng. Dengan terdapatnya benda-benda purbakala dan arca-arca tersebut membuktikan bahwa penghormatan serta memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur sudah dilakukan dari zaman sebelum masa sejarah. Tradisi ini secara berkesinambungan dari generasi ke generasi penerusnya tetap dilakukan sampai saat ini.

Dilihat dari segi tata cara tentu saja terdapat perbedaan-perbedaan mengenai peralatan upacara, pelaksanaannya dan lain sebagainya dengan tata cara sekarang yang disesuaikan dengan keadaan, daya pikir dan kemampuan masyarakatnya. Namun maksud dan tujuannya adalah sama yakni sebagai dharma (kewajiban) dari parati sentana (keturunan) mengormati atau memuliakan dan memuja arwah suci nenek moyang atau leluhur. Di dalam sejarah perjalanannya tidak mustahil tempat suci tersebut mengalami perubahan-perubahan, baik mengenai denah, mupun susunan, bentuk dan jumlah pelinggih-pelinggih-nya (bangunan sucinya), sesuai dengan kemajuan zaman serta daya pikir dan daya cipta manusia serta kemampuan masyarakatnya. Dari perubahan-perubahan tersebut akhirnya berwujudlah tempat suci untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah nenek moyang atau leluhur seperti apa yang ada sekarang yang dikenal dengan sebutan merajan/sanggah.

Post a Comment for "LANDASAN SASTRA DALAM MEMBANGUN MERAJAN"