Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ajaran Paham Waisnawa dalam Siwa Sidhanta

I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama Hindu yang sering menjadi bahan kajian dan penelitian bagi para pengamat dan peneliti dari berbagai kalangan serta dari berbagai belajan negara di dunia agama Hindu sangat unik dan memiliki seni tersendiri, disamping itu juga agama Hindu merupakan agama yang tertua di dunia. Keberadaan Hindu di dunia memiliki daya tarik yang khusus, hal ini membuat banyak orang untuk meneliti dan ingin mengetahui tentang keberadaan Hindu
Sejarah perkembangan agama Hindu sangat penting diketahui untuk memahami jejak awal hingga kini mengenai keberadaan agama Hindu yang dianut oleh umat manusia di dunia dengan diketahui dan dipahami tentang bagaimana perkembangan agama Hindu sejak dahulu hingga kini, itu berarti bahwa umat manusia dapat melihat, mengamati serta seabgai bahan yang akurat dalam mengkaji dinamika yang telah terjadi serta bagaimana perkembangan selanjutnya
Pada mulanya agama Hindu berkembanga di lembah sungai sindhi di India yang kemudian berkembang hingga sampai di nusantara. Para ahli memperkirakan sekitar abad ke-4. Agama Hindu berkembang di nusantara yang dimulai di daerah kutai kalimantan. Dilihat dari peninggalan-peninggalan di berbagai tempat di daerah nusantara ini, baik berdasarkan penemuan-penemuan arkelogi maupun penemuan kitab-kitab berupa rontal-rontal menunjukkan bahwa peninggalan-peninggan itu pada mulanya memperlihatkan ciri Siwa yang dominan
Sejarah perkembangan agama Hindu di bali merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu yang ada dari jawa timur. Saat jayanya agama Hindu di Indonesia saat kerajaan maja pahit, maka saat itu banyak para pendeta Hindu selaku penasehat raja yaitu sebagai dharmadhyakasa Saiva dan dharmadhyaksa sogata. Agama Hindu biasa berkembang di bali adalah berkat jasa para orang suci yang datang dari Jawa Timur, oleh karena awalnya di Bali, terutama pada jaman prasejarah hanya memiliki kepercayaan kepada roh yang berstana di gunung terutama kepercayaan kepada roh nenek moyang, juga adanya kepercayaan terhadap alam nyata dan alam tidak nyata. Juga saat itu hanya ada kepercayaan setelah mati untuk menjelma kembali dari alam sana dan ada kepercayaan bahwa roh nenek moyang dapat dimintai perlindungan untuk keselamatan keturunannya
Menurut R. Goris bahwa Mpu Kuturan awal kedatangannya di Bali melihat suatu kenyataan bahwa agama Hindu yang berkembang terdiri dari sembilan sekte. Sembilan sekte tersebut adalah Siwa siddhanta, pasupata, bhairawa, waisnawa, bodha (sogatha), brahamana, resi, sora (surya), dan ganapatya. Demikian juga dalam lontar Sad Agama disebutkan agama Siwa terdiri dari enam sekte yaitu; Sambu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan Kala. Adapun ciri-ciri umum tentang adanya sekte Siwa Siddhanta di Bali misalnya adanya karya pustaka di Bali yang bernama Bhuwanakosa, Wrhaspati Tattwa, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Widhisastra semua pustaka tersebut mengambil ajaran Siwa Siddhanta

II PEMBAHASAN
A. Kedudukan Wisnuisme dalam Sekte Waisnawa
Mengenai wisnuisme di jawa-kuna ternyata pada kita juga tidak ada perbedaan (diferensiasi) tertentu antara dua kelompok yang utama ialah; bhagawata dan pancaratra. Wisnuisme tetap dalam keadaan sama seperti di zaman epik atau beberapa waktu setelah zaman itu (purana-purana yang lebih tua). Unsur-unsur tantris jelas dapat dipersaksikan. Awatara-awatara (tulis-tulisan) belum sampai jumlah sepuluh seperti kemudian hanya enam sebagaimana pada zaman epik diketahui; celeng (waraha), si laki-singa (narasingha), si cebol (wamana), selanjutnya Rama dan Krsna
Di Bali sekarang tidak terdapat lagi wisnuisme yang diakui secara resmi, akan tetapi dapat ditemukan bekas-bekas dalam dua aliran (sepeti pada pasupata) yaitu disini lagi unsur-unsur yang diambil alih ke dalam agama umum dan disamping itu tokoh sengguhi
Unsur-unsur yang dimaksudkan ke dalam agama umum adalah; popularitas besar yang diperoleh Sri (sakti Wisnu). Dari dewi rejeki dan dewi kebahagiaan. Ia menjadi Dewi-Padi, Dewi dari makanan utama orang-orang Jawa dan Bali, dalam seluruh kekayaan dongeng-dongeng tentang Dewi Sri terdapat campuran dari unsur-unsur pribumi kuno dengan Hindu. Akan tetapi masih ada suatu unsur lagi yang dimasukkan di sini, yaitu wisnu menjadi dewa dari perairan di alam bawah. Jadi dengan demikian mempunyai sifat sebagai demonis-chotnis) termasuk benar-benar makhluk alam bawah dan chthonis
Menganggap hal ini sebagi sisa-sisa dari agama Asia-purba umum yang mempunyai cabang-cabang baik ke Babylon maupun ke Cina. Namun sementara ini masih kekurangan keterangan untuk mengangkat pendapat yang kini di anut oleh beberapa sarjana ini menjadi suatu teori yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ada suatu corak alam bawah yang lain dalam hakekat Wisnu yang sampai kini masih terdapat di Bali. Karena dalam berbagai pura terutama di kerajaan inti Gel-gel jadi wilayah sekeliling Klungkung sekarang suatu tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada sang Sapta Patalar, tujuh neraka dihiasi dengan kepala naga atau kepala ular yang besar dan sang ular seperti juga sang kura-kura adalah binatang yang berhubungan dengan Wisnu. Gambaran Wisnu dan Sri berdua sambil beristirahat di atas ular dunia Cesa adalah suatu gambaran yang sangat populer bagi orang hindu. Peleburan dari wisnu dan ciwa terlihat dalam patung ardhanari dalam bentuk separuh pria dan separuh wanita. Wisnu sebagai ayu mewakili unsur wanita (prakrti, prahdana).
Wisnu merupakan pelindung dari barat, penguasa atas kemakmuran, kesejahteraan, kerajaan yang diperintah dengan baik; raja biasanya dipandang sebagai titisan dari Wisnu di mana Rama dianggap yang ideal popularitas tokoh rama di Bali adalah imbangan dari pemakaian rama untuk nama raja. Gabungan sri dengan sadhana sebagai seri-sedana atau rambut-sedana di Bali merupakan nama patung-patung kecil yang disembah di pura-pura rumah sebagai patung-patung nenek moyang. Namun Wisnu sebagai dewa chotnis lebih sering merupakan pelindung dari Utara-Hitam
Dengan demikian masih terlihat adanya sisa-sisa pemujaan Wisnu dan Sri dalam agama Bali yang umum, disamping itu dalam tokoh Sengguhu terdapat sisa Wisnuisme yang tetap tersendiri. Sengguhu-sengguhu ini merupakan golongan pendeta yang tersendiri. Mereka bukan Brahmana dan bukan pendeta rakyat biasa seperti halnya pemangku di pura-pura
Bali dari sang guru, guru (Yang Mulia). Berperan pada pesta-pesta pergantian tahun yaitu pada bulan ke-9 (caitra = kasanga). Dirayakan pergantian tahun dengan suatu pesta sunyi. Pesta ini senantiasa jatuh pada musim semi. Jadi pada atau kira-kira sekitar bulan maret
Pada pesta ini diselenggarakan berbagai upacara yang menunjukkan pemberhentian magis dalam kehidupan sehari-hari. “suatu saat mengheningkan cipta”. Untuk selanjutnya memulai kembali kehidupan baru. Orang-orang memadamkan api. Lampu-lampu tidak masak dan tidak keluar ke jalan dan sebagainya
Kesepian ini (pesta ini disebut nyepi = merayakan kesepian, diam) didahului oleh suatu upacara pengorbanan pada simpang empat di tiap desa. Di sini pendeta yang memegang peranan pokok adalah sengguhu. Dengan berpakaian putih dia mengucap mantra-mantra dan mempersembahkan korban bagi alam bawah (banten ring sor). Kalau kita melihat bagaimana dalam pada itu ia mempergunakan cangkha, sengkala kerang Wisnu dan memaki seekor kura-kura (kurma) sebagai gantha dengan lonceng-lonceng di bawah. Pada tiap-tiap pengucapan doa, sengguhu sama seperti pedanda ciwa mengucapkan mantra-mantra sansekerta dan bukan mantra-mantra rumus-rumus pribumi kuno atau rumus-rumus Bali. Juga pada pesta besar yaitu pada pesta pengorbanan laut yang dirayakan tiap tahun sengguhu ini memegang peranan, disini diucapkan mantra-mantra, antara lain bagi Baruna dan Bayu dan raja ular Wasuki atau Besuki
Jadi dapat dilihat bahwa pada persembahan korban laut, suatu persembahan korban kepada Waruna, berperan seorang pendeta bercorak Wisnu, jadi suatu pengukuhan lagi dari pertempuran wisnu dengan dewa laut. Kecuali pada pesta ini.

B Ajaran Paham Waisnawa dalam Siwa Sidhanta
Siwa Sidhanta yang berkembang di Bali saat ini merupakan hasil sejarah pra hindu, Hindu dan post Hindu di daerah Bali sendiri. Walaupun Siwa sidhanta lebih mengutamakan pemujaan terhadap Siwa, juga merangkul lokal jenius kebudayaan Bali dan sekte-sekte yang pernah berkembang di Bali, dimana salah satu sekte tersebut adalah waisnawa. Dalam penerapan ajaran agama Hindu di Indonesia khususnya di Bali sekarang ada banyak hal yang mencirikan ajaran waisnawa. Adapun ajaran waisnawa yang masih bisa dilihat dalam Siwa sidhanta saat ini seperti : tempat suci, orang suci, hari suci, dan upacara.
Sebagaimana diketahui, di masa silam di Bali terdapat banyak sekte: Saiwa, Ganapatya, Sora (Surya), Brahmana, Sakta, Pasupata, Waisnawa, dan lainnya. Kemudian setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga: Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa.
Kahyangan Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman, baik dalam bentuk pura atau tempat suci, tiga dewa utama itu yang disembah sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan perehabilitasi, namun dalam praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista dewata (dewa yang dimuliakan) masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya dalam acara kramaning sembah atau Nyurya Sewana para sulinggih setiap pagi. Demikian juga Ganesha dipuja dalam upacara pecaruan sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh faham Sakti, utamanya Bhima Bhairawa.

III PENUTUP
Mpu Kuturan di Bali melihat suatu kenyataan bahwa agama Hindu yang berkembang terdiri dari sembilan sekte. Sembilan sekte tersebut adalah Siwa siddhanta, pasupata, bhairawa, waisnawa, bodha (sogatha), brahamana, resi, sora (surya), dan ganapatya.
. Walaupun Siwa sidhanta lebih mengutamakan pemujaan terhadap Siwa, juga merangkul lokal jenius kebudayaan Bali dan sekte-sekte yang pernah berkembang di Bali, dimana salah satu sekte tersebut adalah waisnawa.

Post a Comment for "Ajaran Paham Waisnawa dalam Siwa Sidhanta"