Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PENGENDALIAN DIRI DALAM PANCA YAMA BRATA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Tujuan akhir Agama Hindu adalah untuk mencapai moksa. Moksa adalah kebahagiaan sejati yaitu terbebas dari hokum sebab akibat dan hukum karma phala. Moksa adalah kebebasan yang hakiki yang perlu untuk dicari oleh umat hindu. Ini adalah salah satu keyakinan selain dari Brahman, Atman, Karma, dan Punarbhawa yang merupakan bagian dari panca sraddha.


Moksa akan dapat dicapai ketika mahluk hidup khususnya manusia mampu terlepas dari lingkaran suka duka kehidupan. Adanya suka duka kehidupan di dunia ini adalah tidak terlepas dari hukum karma phala yang selalu menemani segala bentuk kegiatan manusia apabila kegiatan atau karma yang dilakukan berdasarkan atas keinginan pada hasil.
Bekas-bekas karma inilah yang selalu menyelubungi sang hyang atma sehingga ia akan tidak bisa bersatu dengan sangkan paraning sarat ataupun sangkan paraning dumadi yang tiada lain adalah Brahman. Tidak bisa bersatunya Atman dengan Brahman karena atman masih dibatasi oleh selaput tipis yang menyelubungi yang sering diistilahkan dengan panca maya kosa.
Panca maya kosa adalah lima macam lapisan yang menyelubungi atman. Lima macam lapisan tersebut diantaranya adalah
1. Annamaya kosa, yaitu lapisan yang menyelubungi atman adalah berasal dari sari-sari makanan;
2. Manomaya kosa, unsur manah atau pikiran yang masih menyelubungi atman, dimana atman masih dipengaruhi oleh pikiran atau pikiran masih melekat pada atman seperti ingatan-ingatan semasa hidupnya yang lalu;
3. Pranomaya kosa, yaitu atman masih terikat pada prana atau sari makanan yang asalnya dari udara;
4. Wijnana maya kosa, yaitu lapisan dari ilmu pengetahuan yang mengikat sang hyang atman.
5. Anandamaya kosa, yaitu atman masih dipengaruhi oleh unsur-unsur kebahagiaan dan atman masih terikat dengan kebahagiaan duniawi seperti keinginan untuk mendapatkan sorga.
Kelima lapisan tersebut adalah pembatas bagi atman untuk dapat bersatu dengan Brahman. Maka dari itu perlu untuk dihilangkan secara bertahap sedikit demi sedikit, karena manusia tidak dapat menghilangkan sifat-sifat duniawi sepenuhnya. Sifat- sifat ini ada karena manusia khususnya dipengaruhi oleh tri guna.
Untuk meningkatkan kesucian dalam diri, maka hidup harus dijalani sesuai dengan mazab, ataupun jenjang-jenjang kehidupan yang telah ditentukan oleh agama. Dalam Agama Hindu diajarkan mengenai jenjang-jenjang kehidupan tersebut yang dikenal dengan catur asrama. Bagian-bagiannya adalah Brahmacari, Grhasta, Wanaprasta, Biksuka atau sanyasin.
Pada masa brahmacari diharapkan umat harus mampu menuntut ilmu dengan disiplin, karena bramacari merupakan masa menuntut ilmu. Brahmacari ada dua jenis yaitu brahmacari pada masa muda/lajang dan brahmacari pada masa grehasta. Brahmacari pada masa grehasta ada tiga, yaitu sukla brahmacari ; tidak menikah/kawin seumur hidup, sewala bramacari ; menikah hanya satu kali dalam kehidupan, dan tresna brahmacari yaitu menikah lebih dari satu kali.
Grehasta adalah masa berumah tangga, yaitu diharapkan umat untuk melaksanakan suatu pernikahan yang didasarkan atas sastra demi kelangsungan hidup manusia. Dalam melaksanakan hidup berumah tangga diperlukan mental yang matang dan kuat, karena pada masa ini seringkali godaan-godaan akan mengancam keharmonisan dalam berumah tangga jadi sangat diperlukan adanya pengendalian diri.
Wanaprastha adalah masa pengasingan diri ke dalam hutan. Mungkin jaman dulu hal ini sangat banyak dilakukan oleh umat, namun dimasa kekinian tentu saja hal tersebut sangat jarang dilakukan. Namun bila di telaah lebih mendalam tentu masa pengasingan diri kehutan dapat diinterpretasikan bahwa kita harus lebih banyak melakukan perenungan kedalam diri. Karena didalam dirilah sesungguhnya hutan dengan banyak binatang buas itu berada, seperti adanya sad ripu dan sebagainya. Untuk menjaga keselamatan didalam hutan yang ada dalam diri sendiri adalah dengan cara mempelajari ajaran yang merupakan kebenaran abadi, dan kebenaran yang langgeng dan abadi itu tiada lain adalah ajaran agama yang di suratkan dalam kitab suci.
Terakhir adalah masa biksuka atau sanyasin, yaitu masa dimata manusia khususnya bagi umat hindu untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan lebih banyak mempelajari ajaran weda agar bisa memberikan pencerahan kepada umat. Pada masa ini sangat dianjurkan kepada umat untuk dapat melaksanakan peningkatan kesucian baik lahir maupun bathin melalui upacara mediksa untuk menjadi pandita.
Sebelum menjadi seorang pandita maka calon diksa harus terlebih dahulu mempelajari tentang batasan-batasan menjadi seorang pandita. Yang menjadi landasan pelajaran bagi calon diksa salah satunya diuraikan dalam lontar silakrama, slokantara, wrespati tattwa dan masih banyak lagi yang berdasarkan atas weda. Salah satu ajaran yang diuraikan adalah mengenai yama brata.
Yama brata adalah pengendalian diri tahap awal yang merupakan bagian dari sad angga yoga. Dalam yama brata diajarkan tentang pengendalian diri dalam batasan badan jasmani yang bersentuhan langsung dengan duniawi, dimana segala perbuatan tersebut dapat dirasakan langsung karena sifatnya yang masih kasar disbanding dengan bagian dari sad angga yoga yang lain. Karena sifatnya paling kelihatan jadi yama brata-lah yang harus dilakukan terlebih dahulu.



1.2 Rumusan masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas yaitu :
- Bagaimanakah bentuk pengendalian diri yang ada dalam panca yama brata?

1.3 Tujuan penulisan

Dalam penulisan ini terdapat dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan umum
Tujuan umum dalam penulisan ini adalah untuk memperluas pengetahuan ajaran Agama Hindu.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk pengendalian diri yang ada dalam panca yama brata.

1.4 Manfaat penulisan

Dalam penulisan ini terdapat dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoris dalam penulisan ini adalah dapat menambah pengetahuan tentang ajaran Agama Hindu.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dalam penulisan ini adalah dapat mengetahui bentuk pengendalian diri yang ada dalam panca yama brata.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengendalian Diri Dalam Panca Yama Brata
Panca yama brata adalah lima macam pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Panca yama brata harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi suci. Dengan kesucian pikiran dan hati terbebas dari beban perbuatan kotor yang dilakukan oleh badan jasmani akan mampu menenangkan pikiran dan pemusatan pikiran pun akan dapat dilakukan untuk melaksanakan kesucian bathin.
Bagian-bagian panca yama brata yang diuraikan dalam silakrama adalah Ahimsa, Brahmacari, Satya, Awyawahara/awyawaharika, dan Astainya/asteya. Berikut ini akan dijelaskan dari masing-masing bagian tersebut.
1.1. Ahimsa
Kata ahimsa sudah tidak asing lagi didengar dalam masyarakat. Ahimsa berarti tidak membunuh ataupun menyakiti. Menurut ahimsa mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan, perkataan, dan pikiran yang dapat menyakiti orang ataupun mahluk lainnya. Melakukan perbuatan seperti menyakiti sangat dilarang oleh Agama Hindu. Apabila perbuatan. Perkataan, ataupun pikiran yang menyakitkan itu dilakukan tentunya akan terus membekas dalam alam pikiran yang akan membuat sipelaku selalu dalam keadaan bingung dan gelisah. Dengan keadaan seperti itu maka suatu ketenang pikiran tidak akan bisa tercapai.
Pembunuhan dapat dilakukan bila tidak didasari oleh dorongan nafsu dan indria, tetapi didasarkan pada sastra. Dalam sastra terdapat pengecualian bahwa pembunuhan itu dapat dilakukan, yaitu :
1.1.1. Dewa puja : yaitu pembunuhan dibenarkan untuk tujuan yajna atau dipersembahkan kepada tuhan;
1.1.2. Untuk kepentingan dharma;
1.1.3. Atiti puja : yaitu untuk diberikan kepada tamu;
1.1.4. Menjalankan swadharma kehidupan rumah tangga;
1.1.5. Untuk kesehatan;
1.1.6. Melindungi diri dari segala ancaman pembunuhan;
1.1.7. Tidak dilatar belakangi oleh sad ripu.
Tujuh bentuk pengecualian tersebut duiraikan dalam sila kramaning aguron-guron (wrespati tattwa). Namun sebelum melakukan suatu pembunuhan terlebih dahulu melakukan upacara. Seperti di bali dikenal yang namanya mapapada yaitu memberikan doa terhadap binatang yang akan dijadikan persembahan. Upacara mapapada dilakukan pada binatang yang berkaki empat seperti babi, sapid an lain-lain.
1.2. Brahmacari
Brahmacari merupakan masa menuntut ilmu. Tarafan hidup dengan tahapan belajar dibedakan atas dua masa yaitu :
1.2.1. Brahmacari saat usia lajang atau belum menikah;
1.2.2. Brahmacari pada masa berumah tangga.
Pada brahmacari yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut ataupun masa belajar dari guru dan sastra agama. Pada masa ini harus benar-benar belajar tanpa menghiraukan kehidupan duniawi, dalam artian bahwa pada masa ini kita harus mampu mengendalikan diri dari segala godaan nafsu dunia agar konsentrasi dalam belajar dapat tercapai.
1.3. Satya
Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan dilaksanakan khususnya bagi seorang calon diksa agar setelah natinya menjadi pandita dapat menjadi tauladan atau panutan bagi umatnya. Ajaran tentang kesetiaan, kejujuran dan menjaga suatu kebenaran akan dapat dilakukan setelah terbiasa. Jadi sebelum menjadi seorang pandita maka terlebih dahulu harus membiasakan diri untuk menjalankan ajaran satya.
Ajaran satya ini dapat dibagi menjadi lima yang disebut dengan panca satya, yaitu
1.3.1.Satya laksana ; yaitu setia pada perbuatan. Hidup sebagai manusia yang dipengaruhi oleh triguna maka seringkali manusia tidak mengakui apa yang telah ia lakukan. Dalam satya laksana yang dipentingkan adalah bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan. Maka berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Manusia juga harus jujur dan selalu melakukan perbuatan yang berdasarkan pada ajaran dharma. Segala bentuk perbuatan yang adharma harus bisa dikendalikan dengan menumbuhkan sifat satwam didalam diri.
1.3.2.Satya mitra : yaitu setia terhadap sahabat. Artinya dalam mencari sahabat hendaknya didasari atas kejujuran. Dewasa ini kebanyakan manusia dalam mencari teman hanya untuk kepentingan sendiri. Hal ini dikarenakan manusia hanya ingin mencari keuntungan dalam pertemanan sehingga ketika pada waktunya teman atau sahabat itu tidak memberikan suatu keuntungan maka ia akan meninggalkan temannya. Sikap inilah yang harus dikendalikan dan dihindari, karena tidak ada harta yang lebih berarti dari sahabat.
1.3.3.Satya wacana : yaitu setia terhadap kata-kata. Artinya manusia harus berbicara jujur, apa adanya dan sesuai dengan kebenaran. Kita harus mampu menghindari dan mengendalikan diri dari perkataan yang tidak benar, palsu ataupun memfitnah. Karena fitnah lebih kejam dari pembunuhan.
1.3.4.Satya semaya : yaitu setia terhadap janji. Seringkali dalam kehidupan ini manusia memberikan janji-janji palsu dan ini sering dilakukan oleh calon wakil rakyat ataupun pemimpin. Ini harus dihindari, karena sekali berbohong akan menimbulkan kebohongan yang lain. Tidak mampu menepati janji akan selalu membawa kegelisahan dalam hati dan pikiran sehingga ketenangan yang diharapkan pun tidak dapat dicapai.
1.3.5.Satya hredaya : yaitu setia pada kata hati. Seringkali kita dalam melakukan dan berkata bertentangan dengan kata hati. Pikiran yang tidak benar atau negative thinking harus dihindari. Karena pikiran yang tidak baik akan mendorong manusia untuk berkata dan berbuat yang bertentangan dengan dharma.
1.4. Awyawahara
Awyawahara berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi (tan awiwada). Dalam kehidupan ini harus mampu mengendalikan indria dari obyek duniawi. Karena bila indria yang mengendalikan manusia maka ia akan terjerumus dalam kesengsaraan. Kesengsaraan itu timbul dari dalam diri manusia yang tidak pernah merasa puas terhadap hal-hal yang bersifat duniawi. Ketertarikan terhadap benda duniawi akan membuat manusia selalu tenggelam dalam awidya.
Setelah menjadi seorang pandita, maka yang bersangkutan tidak dibenarkan melakukan kegiatan jual beli dengan tedensi keuntungan yang berlipat-lipat, simpan pinjam (rna rni) dan memperlihatkan kepandaian serta memupuk dosa kecuali menjaga harta warisan, menjaga keutuhan keluarga, dan kesejahteraan istri, anak dan cucu.
1.5. Asteya
Asteya berarti tidak mencuri atau memperkosa milik orang lain seperti angutil, anumpu, dan abegal. Dalam silakrama disebutkan sebagai berikut :
“apabila seorang wiku berjalan jauh dan dalam perjalanan haus dan lapar lalu mengambil tumbuhan milik orang tanpa bilang hanya sebatas penghilang haus dan lapar maka ia terlepas dari dosa”
Ini berarti bahwa siapapun orangnya khususnya pandita diperbolehkan mengambil milik orang lain ketika ia merasa haus dan lapar dalam perjalanan jauh. Tetapi barang yang diambil hanya sebatas untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga. Tentu tidak dibenarkan barang yang diambil melebihi keperluan apalagi sampai dijual. Segala perbuatan hendaknya tidak didasari oleh sad ripu.
Jadi segala keinginan untuk mengambil ataupun memperkosa milik orang lain yang didasari oleh sad ripu harus dikendalikan.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sesuai dengan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa :
3.1.1. Panca yama brata adalah lima macam pengendalian diri tingkat pertama untuk mencapai kesempurnaan dan kesucian jasmani. Panca yama brata harus dilakukan paling awal, karena setelah terbebas dari perbuatan-perbuatan yang kotor akan mampu membuat pikiran dan hati menjadi suci.
3.1.2. Bagian-bagian panca yama brata yang diuraikan dalam silakrama adalah Ahimsa, Brahmacari, Satya, Awyawahara/awyawaharika, dan Astainya/asteya.
3.1.3. Ahimsa berarti tidak membunuh ataupun menyakiti.
3.1.4. Pada brahmacari yang memiliki pengertian pertama tersebut adalah masa menuntut ataupun masa belajar dari guru dan sastra agama.
3.1.5. Satya berarti setia, kejujuran, dan kebenaran. Satya ini harus dipelajari dan dilaksanakan khususnya bagi seorang calon diksa agar setelah natinya menjadi pandita dapat menjadi tauladan atau panutan bagi umatnya.
3.1.6. Awyawahara berarti tidak terikat pada kehidupan duniawi (tan awiwada). Dalam kehidupan ini harus mampu mengendalikan indria dari obyek duniawi.
3.1.7. Asteya berarti tidak mencuri atau memperkosa milik orang lain seperti angutil, anumpu, dan abegal.
3.2. Saran-saran
Tujuan akhir Agama Hindu adalah untuk mencapai moksa. Moksa adalah kebahagiaan sejati yaitu terbebas dari hokum sebab akibat dan hukum karma phala. Moksa adalah kebebasan yang hakiki yang perlu untuk dicari oleh umat hindu. Ini adalah salah satu keyakinan selain dari Brahman, Atman, Karma, dan Punarbhawa yang merupakan bagian dari panca sraddha.
Marilah kita yakini ajaran Agama Hindu yang kita anut agar kita bisa lebih mantap dalam menjalankan ajaran agama, pastinya kebahagian dan kesucian akan kita dapatkan. Kita mulai dari mengendalikan indria kita dari keinginan-keinginan yang berlebihan yang akan menyeret kita pada perbuatan yang bertentangan dengan dharma dengan cara melaksanakan Panca Yama Brata.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiharto, I. Bambang ; Rachmat W., Agus, 2000, Wajah Baru Etika & Agama, Penerbit Kanisius.
Lodera, Drs., I.B., 2005, Pendidikan Agama Hindu Dalam Keluarga, Makalah Disampaikan Dalam Rangka Pendalaman Sradha TP. Pkk Kabupaten Badung.
Sudarsana, Iketut, S. Ag., 2006, Pengantar Upanisad, Institute Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Post a Comment for "PENGENDALIAN DIRI DALAM PANCA YAMA BRATA"